Wednesday, May 21, 2008

Setan

devil1.gif

Konon di bulan Ramadhan makhluk yang paling dibebaskan dari segala tugasnya adalah setan. Bebas dari tugas menggoda manusia. Menyeru dan mengajak kepada kesesatan. Entah dia harus berbahagia atau bersedih akan fakta ini, saya tidak tahu. Yang jelas dalam persepsi manusia, setan setidaknya memiliki satu bulan masa cuti tiap tahunnya, mau diambil atau tidak - hanya setan yang mengerti bagaimana memanfaatkan fasilitas ini.


Ainun Nadjib pernah menulis, bahwa ada desas-desus setan sekarang sepakat untuk tidak menggoda manusia lagi, karena sudah capek menjadi kambing hitam di dunia. Setiap ada orang yang celaka, sekarang paling gampang bilang, “Ah, ini godaan setan.” Setiap ada orang berbuat jahat atau maksiat, kalau kepepet lantas tobat,”Ya Allah, ini godaan setan ya Allah. Pak saya digoda setan, Pak.” Maka untuk itulah setan berujar,”Biarlah aku tidak berbuat apa-apa untuk sementara, agar kadar dosa manusia menjadi dosa yang murni, dosa manusia sendiri, tanpa bantuanku, tanpa buatanku.” Begitu kira-kira kata setan.

Memang dewasa ini kerap kali tugas setan memang semakin mudah. Mudah, karena sudah banyak orang yang alergi kepada iman, tanpa harus diajak setan, tanpa proses digoda setan. Padahal kita sendiri maklum bahwa setan adalah makhluk Allah yang juga beriman dan mengakui kebesaran Allah. Kalau setan saja masih beriman, lantas apa nasibnya dan apa namanya kategori manusia yang menanggalkan keimanannya? Naudzubillah..

Sekarang adalah jamannya manusia menggoda manusia, televisi menggoda manusia, pornografi menggoda manusia, harta, jabatan, wanita, pria dan lain sebagainya telah dengan istiqamah mengganti dan meringankan tugas setan. Adakah yang pernah menghitung angka pengangguran setan akibat beberapa dari mereka kini telah sedikit demi sedikit kehilangan pekerjaannya? Keahlian manusia telah semakin canggih bahkan mengalahkan kepiawaian setan itu sendiri dalam menyeru kepada kesesatan.

Siapa bilang bisikan setan tidak hadir ketika kita beribadah? Dalam shalat setan hadir dalam wujud perasaan ingin dipuji oleh orang lain. Dalam perasaan bahwa kita adalah manusia yang paling giat beribadah sehingga mengecilkan kehadiran manusia lainnya. Sehingga kita lalai akan esensi kekhusyuan shalat itu sendiri. Lebih jauh kita merasa telah menjadi sesorang yang paling benar. Dalam bersedekah dan berzakat, prosesnya kurang lebih sama.

Ada pandangan - untuk menilai shalat seseorang khusyu atau tidak, lihatlah bagaimana orang itu berperilaku di antara dua waktu shalatnya. Belakangan, inilah yang kita maksud bahwa seseorang telah mendirikan shalat atau belum. Khusyu dalam shalat, yang banyak kalangan menilai konsentrasi dalam shalat sehingga lupa terhadap apa yang ada disekelilingnya, rupanya telah menyalahi fitrah, sunatullah. Bahwa telinga yang normal tetap dapat mendengar suara-suara yang terjangkau di dekat kita, mata yang normal tetap dapat melihat hingga disudut kelopak mata kita, pikiran yang normal tetap potensial untuk berkelana memikirkan beban pikiran yang menghimpit, bahkan dalam shalat sekalipun.

Maka kata-kata sabar dan bersyukur menjadi ciri orang-orang yang beriman. Sabar ketika dirundung ujian, bersyukur ketika dihampiri kenikmatan. Sama seperti setan yang sabar selama sepanjang masa menggoda manusia. Saya tidak tahu apakah setan mengenal arti bersyukur pula.

Setan juga kerap kali menjadi kambing hitam atas kehadiran kita di dunia ini. Tidak sedikit dari kita yang berpikir kurang lebih begini,”kalau saja tidak ada setan, manusia termasuk kita saat ini tentulah masih menikmati nikmatnya keindahan surga.” Kembali akhirnya untuk kesekian kali kita bersuudzan pada setan. Pada akhirnya kita lupa, bahwa digoda atau tidak digoda oleh setan, Adam As. tetap akan Allah utus ke bumi, ke dunia fana ini. Sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, sebagai khalifah di muka bumi ini. Memang pada akhirnya manusia pulalah yang gandrung akan segala keluh kesah. Mencari kambing hitam ke sana dan ke sini.

Pada akhirnya kita semua mungkin maklum atas taubat Nabi Adam As. kepada Allah adalah lebih kepada wujud penyesalan manusia yang pada hakikatnya memiliki juga kecenderungan untuk mendzalimi diri sendiri melalui dosa-dosa yang kerap kali kita perbuat. Dosa-dosa yang kita rasakan maupun yang kita tidak sadari karena sekedar meremehkan arti dosa itu sendiri. Nabi Adam bukan menyesal karena Ia diutus ke muka bumi ini.

Dosa pertama telah tercipta. Entah untuk mengingat saat bersejarah itu, ataupun sebagai bentuk penyesalan yang mendalam atas segala kelemahan kita tanpa bimbingan-Nya, milyaran umat manusia secara diam-diam dalam waktu sendirinya akhirnya tak kuasa membendung tetesan air mata ketika berhadapan dengan keagungan Allah SWT, seraya layaknya Nabi Adam pada waktu itu, ia berucap:

Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa illam taghfirlanaa watarhamnaa lanakunanna minal khaasiriin - Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi…” (QS 7:23)

Read More......

Tuesday, July 24, 2007

Doa, sebuah media kontemplasi

Tersebutlah Nutan yang sangat cantik dalam Sujata, film India yang belum tentu terbilang banyak ditonton orang, menyanyi sambil berurai airmata, “Andaikata semua doa dapat dikabulkan, maka tidak akan ada lagi persoalan di mayapada.” Di sebuah kamar kost, karena besok pagi ada ujian Material Teknik, Dudung yang mahasiswa Teknik Industri, sedang mengulang-ulang ayat, yang maknanya, “Mintalah kepada-Ku. Pasti Ku-beri. Sesungguhnya Aku ini amat dekat.” Diktat kuliahnya tertindih bantal dan AlQur’an.

Dihadapannya, selembar stiker ayat suci tertulis dengan tinta warna, “Jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu.” Sholat yang termasuk di dalamnya adalah Doa. “Sholat itu mencegah dari perbuatan fasik dan munkar.” Akhir cerita, air mata Nutan memang menjadi kering, bahagia sesuai dengan keinginan sutradara film India. Dan Dudung keesokannya tidak lulus ujian, karena malamnya memang lantas tertidur. Tetapi lama setelah itu, Ia menjadi pengusaha dan pemborong bangunan, ia tidak menjadi insinyur.


Andaikata semua doa dikabulkan begitu saja seperti keinginan Nutan, betapa ributnya dunia ini. Ketika kita akan ke Bandung dari Kampung Rambutan lantas harus mencium tangan ratusan pencopet yang telah menjadi konglomerat, lengkap dengan segala atribut, hanya karena malamnya mereka sudah berdoa, ramai berwirid meminta perubahan nasib.

Di Bandara Husein Sastranegara beribu-ribu pesawat jet milik pribadi diparkir sampai ke jalan besar, karena tadi malam pembantu-pembantu rumah tangga di Bandung berdoa agar bisa mudik lebaran dengan nyaman, aman, dan cepat. Dan andaikata semua pesawat itu jadi berangkat tepat waktu tanpa pilot, sedangkan pemuka-pemuka desa belum diberitahu bahwa semua doa akan dibayar kontan, betapa sibuk mereka, di Rajapolah, Tasikmalaya, menyiapkan petugas meteorologi dan landasan pacu baru.

Doa-doa di atas baru mewakili dua golongan profesi di saat mendekati lebaran. Andaikata doa-doa manjur itu dipanjatkan oleh semua orang yang terdiri dari bermacam-macam bangsa, agama, kepercayaan, umur, ideologi, yang berbeda keperluan, bertabrakan kepentingan, dapatkah kita bayangkan secara keseluruhan keadaan dunia ini? Secara jujur, saya tidak mampu. Sebab saya tidak bisa menebak apakah keinginan muluk, doa milyaran orang Cina yang akan dipanjatkan bersama-sama.

Sedangkan apabila mereka berteriak dan bertepuk tangan saja secara serentak dalam satu hari, di manakah burung-burung di Tiongkok sempat hinggap, jika tidak mengungsi ke Rusia? Ayah Somad, yang guru mengaji, sangat pintar, juga menulis-nulis dan mengarang-ngarang doa. Ia melayani pesanan jimat apa saja. Asal untuk kebaikan, dan syaratnya harus berbuat baik, katanya. Diramunya beberapa ayat, dari kitab-kitab kuno seperti Safinatunnajah atau Mujarrabat.

Suatu ketika Somad jatuh cinta, tapi ditolak. Karena penasaran, dicurinya satu lembar tulisan Arab dari lemari, lantas dibaca berkali-kali. Sudah tiga hari tiga malam lamanya, tapi calon pacarnya tetap diam, malah Somad mencret berat. Setelah diperiksa ternyata doa yang ia baca bukan untuk menarik perhatian perempuan. Melainkan doa untuk menggampangkan kelahiran. Kita memang tidak harus lantas cepat dan mudah percaya. Mungkin ia mencret karena kurang tidur, karena masuk angin dan lain sebagainya.

Somad pula serta merta mengangkat Hamid, teman sekelasnya di SMEA, menjadi guru, karena pengetahuannya tentang doa. Waktu itu Somad sangat suka berkelahi, meski sering kalah, karena ia punya jimat dan punya bacaan doa, yang belakangan ia ketahui hanya potongan ayat Surah Yasin. Ia lantas teringat Hamid yang orang Hadramaut berkata, “Kalau ingin lebih berani, mengapa kamu hanya baca sepotong, mengapa tidak kamu baca saja seluruh isi Al Qur’an dan tafsirnya. Kalau kamu ingin merasa lebih sakti, mengapa satu lembar kertas saja yang kamu bungkus kain, mengapa tidak satu kitab Al Qur’an utuh sekalian kamu gantungkan di leher, di pintu, di dinding dan di mana-mana kamu sukai?”

Alkisah seorang ibu sebatangkara sangat sedih, bahkan lebih pedih dari pada sedih, karena kematian suaminya. Anak tunggalnya juga tiba-tiba meninggal dunia. Dengan menggendong mayat anak lelakinya ia mendatangi setiap kyai, mengemis pertolongan, minta doa agar anaknya dapat hidup kembali. Hanya satu kyai yang mau menolong, mau baca doa asalkan ibu itu membawa semangkok biji lada dari rumah seseorang yang tidak pernah bersedih, yang tidak pernah mengalami kematian keluarganya.

Anak itu lantas tidak bisa hidup kembali. Siapakah orangnya yang tidak pernah lagi merasakan susah? Rumah tangga siapakah yang tidak pernah mengalami kehilangan karena kematian, apakah itu orang tuanya atau kakeknya? Cerita ini mirip sebuah kisah dalam kitab agama Buddha dengan versi yang sama. Kyai itu kemudian berkata bahwa jika manusia mengeluh bahwa doa-doa itu tidak dikabulkan, lambat dikabulkan, atau dikabulkan tapi dinikmati orang lain, perasaan itu terjadi karena interaksi antara sifat manusia yang terburu-buru, egois, dan sempit di satu pihak, dengan sifat Allah yang Maha Adil, Maha Luas, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Jika doa tidak dikabulkan bisa juga karena Allah sayang kepada kita. Kalau doa kontan terkabul, amal baik kontan berbalas, lumrah saja jika dosa-dosa kemudian kontan diazab. Tidak dapat saya bayangkan apabila kita berkata bohong atau bergosip lantas mulut ini langsung perot. Kalau kita mencuri atau korupsi lantas tangan ini jadi cekot. Satpam yang menendang bakul jamu, lantas kakinya peot-peot. Orang yang kerjanya menggusur tanah orang, lantas ia sekeluarga serta merta tergususr dari bumi. Orang berzinah lantas sekonyong-konyong batu yang tak kepalang besarnya menimpa kepalanya, merajam seluruh tubuhnya. Orang yang bersumpah disambar petir, karena memang berbohong, lantas petir itu betul-betul membelah batok kepalanya.

Justru karena kebesaran Allah, doa dan dosa dibuat seimbang datangnya. Ditunda, karena Tuhan biasanya menghukum seseorang sesudah matinya, lantas mengapa kita terburu-buru menghukum seseorang karena kesalahan-kesalahan kecil yang terkadang tidak disengaja? Mengapa kita sering terburu-buru akan terkabulnya doa dan kutukan?
Konon perubahan pemikiran terhadap penerimaan agama biasanya dimulai di universitas dan institusi perguruan tinggi. Bisa menjadi lebih alim, bisa juga malah mutung, ketika wawasan dianggap menjadi semakin lengkap dan luas. Ketika harapan-harapan mulai mendekati kenyataan. Ketika kekecewaan hampir tidak tertangguhkan. Ketika berbagai disiplin ilmu semakin mendesak. Ketika kungkungan pikiran tradisionil semakin longgar. Ketika kita mulai yakin bahwa untuk menjadi sesuatu, tidak cukup mengandalkan kepada yang kita ketahui, tetapi tergantung juga kepada yang tidak kita pahami.

Saya akhirnya tidak menjadi bingung. Walaupun kadang dicanggih-canggihkan, pakai kemenyan atau nasi kebuli, doa adalah realita praktis. Praktis, meski kita enggan, acuh tak acuh terhadap agama, tidak pernah mengenyam pendidikan agama. Atheis, atau karena kita penganut agama Kaharingan sekalipun yang hidup di hutan-hutan. Atau kita orang-orang yang diburu. Orang-orang yang dibuang. Praktis, karena doa ternyata dapat memenuhi segenap kebutuhan psikologi manusia yang paling pokok, kata Dale Carnegie.

Doa membantu mewujudkan suatu kesulitan dalam bentuk kata-kata yang tepat. Kesulitan apapun, yang tidak jelas dan samar-samar, mustahil terpecahkan. Berdoa hakekatnya seperti menuliskan dengan jelas inti masalah di atas selembar kertas. Kalau kita memerlukan pertolongan maka kesulitan itu harus kita wujudkan dalam bentuk kata-kata. Dengan berdoa, semua yang menyedihkan hati, semua kesulitan, telah dapat kita ucapkan dengan kata-kata. Dengan kata-kata pula, kita lantas minta pertolongan Tuhan.

Doa bisa meringankan beban. Hanya sedikit orang yang kuat memikul bebannya sendirian. Menyelesaikan kesulitan sendirian. Dalam berdoa kita serahkan kesulitan kepada Tuhan. Kesulitan kita dipikul bersama, tidak sendirian. Kadang kita bingung, sedih, dan kalut, merasa tidak mampu berbuat sesuatu. Kata ahli penyakit jiwa, obat paling mujarab adalah menceritakan semua beban kita kepada orang lain, curhat istilah canggihnya. Tetapi kadang sangat pribadi sifatnya, sehingga kita jadi malu. Jika demikian, hanya kepada Tuhan, dengan doa, semua dapat kita ceritakan.

Doa mendorong untuk bertindak. Dengan berdoa lantas kita maju selangkah. Saya tidak yakin jika ada orang yang sudah berdoa berhari-hari tanpa hasil walaupun sekejap. Ia pasti lantas ingin bertindak untuk menyelesaikan persoalannya, karena hasil nyata dari sebuah doa adalah sikap, tindakan, atau “perubahan sikap bathin yang positif”.

Dokter Alexis Carrell, pemegang hadiah Nobel, pernah berkata, “Doa merupakan bentuk energi yang paling kuat yang bisa dihasilkan oleh manusia. Kekuatan ini betul-betul nyata seperti halnya daya tarik bumi. Sebagai seorang dokter saya telah benyak melihat pasien yang bebas dari penyakit dan kesedihan karena ada doa, setelah berbagai macam cara penyembuhan lain tidak berhasil. Seperti halnya radium, doa adalah sumber energi yang menghasilkan energinya sendiri, dan menyebarkan energinya sendiri.” Dalam berdoa manusia berusaha melipatgandakan energinya yang terbatas dengan jalan mengubungkan diri kepada Allah (sumber energi yang Maha tidak terbatas), yaitu kekuatan penggerak yang memutar alam semesta ini. Dengan memohon, kekosongan jiwa kita bakal terisi, sehingga kita bisa bangkit kembali, menjadi sehat bahkan menjadi kuat.

Ketika Eisenhower pagi itu berangkat ke Eropa untuk mengambil alih Komando Tertinggi, ia tidak membawa apa-apa kecuali kitab Injil, yang kelak dibacanya setiap saat, di setiap kancah pertempuran. Mahatma Gandhi bukan hanya menenun seperti yang biasa kita lihat. Dalam tiap kesempatan ia membaca Bhagawad Gita, “Tanpa doa, saya pasti sudah lama menjadi gila.”

Francis Bacon, pernah berkata, “Filsafat yang dangkal membawa orang cenderung ke atheisme, tetapi filsafat yang dalam akan membawa pikiran manusia beriman kepada Tuhan.” Jika agama tidak benar, jika agama dapat punah seperti binatang-binatangan dinosaurus, maka hidup ini tidak akan ada artinya sama sekali, bahkan hanya lelucon yang tragis.

Agama dan doa adalah sumbernya optimisme, kepercayaan, pengharapan, baik sangka serta keberanian. Oleh karena itu ketegangan, kekuatiran, kesedihan hati dan ketakutan, walaupun selalu ada, seyogyanya tidak akan mempengaruhi kita. Agama apapun, karena Tuhan memang satu, akan membangkitkan semangat, membesarkan hati, dan karenanya akan membuat orang selalu riang, damai, dan bahagia. Seorang dokter terkenal, Dr.A.A.Brill, konon memang tidak terang-terangan menyebutkan doa adalah tonikum, tapi ia kemudian pernah berkata, “Orang-orang yang taat dan patuh kepada agamanya, orang-orang yang tidak lupa selalu berdoa, tidak akan menderita neurosis atau penyakit syaraf.”

Dewasa ini banyak dokter-dokter, ahli penyakit jiwa, yang menjadi mubaligh modern. Mereka tidak mendorong kita hidup beragama supaya kita jangan masuk ke dalam api neraka di akhirat, tetapi mereka mendorong kita hidup beragama agar kita jangan sampai masuk ke dalam neraka dunia yaitu: borok perut, kejang jantung, stress, depresi, psychosomatik, gangguan syaraf, dan penyakit yang disebabkan oleh goncangan jiwa. Mereka juga mengajarkan keseimbangan.

Takut yang tidak pada tempatnya, takut yang tidak beralasan pada dasarnya adalah dosa. Dosa terhadap kesehatan. Dosa terhadap keluarga, terhadap kehidupan. Hidup bagi orang-orang yang beriman seharusnya hidup yang lebih gembira, yang lebih mantap dan yang lebih berpengharapan.

Menurut guru ngaji waktu saya di Cikampek dulu, doa-doa sebaiknya dimulai dengan rasa terima kasih (seperti halnya jika kita mulai berpidato), dilanjutkan dengan permintaan maaf dan ampun, lalu akhirnya pasrah bahwa yang harus terjadi hanyalah kehendak Allah, bukan kehendak kita. Dalam kehendak Tuhan barangkali masih ada secercah harapan, ridha lain, yang kita tidak pernah ketahui sebelumnya.

Barangkali betul juga bahwa doa bisa disebut sebagai neraca, alat ukur untuk tetap menjaga keseimbangan di dalam hidup kita, seperti yang sering kita dengar di lubuk hati yang paling dalam, yang terkadang tidak kita mengerti, karena bahasa yang dilantunkan doa adalah bahasa hati. Bukan bahasa Inggris, Jerman atau Perancis untuk sekedar menunjukkan bahwa kita manusia ‘modern’ atau ‘gaul’.

Dengan doa, di mana ada kebencian, akan bertabur kasih sayang. Di mana ada kesalahan, akan bertabur ampunan. Di mana ada keraguan akan bersemi iman. Di mana ada keputusasaan, akan tertuai harapan. Di mana ada gelap, akan bersinar terang. Di mana ada nestapa, akan berlimpah sukacita. Dengan doa, kita tidak minta dihibur, kita ingin juga menghibur. Dengan doa kita tidak minta dimengerti, tetapi berusaha untuk mengerti. Dengan doa, kita tidak minta untuk dicintai, tetapi kita ingin belajar untuk mencintai.

Sebab dengan memberi, kita dapat menerima, dengan mengampuni, kita akan diampuni. Hanya dengan melalui mati kita dapat datang ke dalam dimensi kehidupan yang abadi. Sesuatu yang pasti menghampiri, namun kita tidak tahu pasti kapan datangnya. Lantas, apa salahnya jika kita akan selalu berdoa, karena doa tidak sulit (sesulit ujian yang dihadapi Dudung tadi), karena doa bisa dikerjakan dengan diam-diam, bahkan dengan diam. Tidak akan merugi dan tak ada ruginya. Doa hadir dalam setiap sholat, dalam setiap ritual agama manapun. Dalam arti dan dalamnya makna. Lantas, apa yang perlu dikhawatirkan? Haruskah kita selalu merasa dirundung malang, sehingga kita selalu dirundung cemas?

Read More......

Wednesday, July 04, 2007

Milano

Milano atau milan di Italia tidak hanya terkenal karena ada klub sepakbola bernama Inter Milan dan AC Milan. Bukan lantaran AC Milan baru saja menjuarai Kejuaraan Eropa antar Klub Sepakbola saya kini berbicara soal kota Milan.
Lebih dari itu Milan adalah salah satu kota pusat mode di dunia. Kiblat model baju. Penyebabnya, menurut survey dan kenyataan, karena cuaca di Milan setiap saat, setiap hari, sering berubah, unpredictable kata orang. Karena cuaca sehari-hari tidak dapat dipastikan. Diramalkan panas tahu-tahu hujan turun, diramalkan terik, sekalinya mendung. Karenanya orang-orang Milan seringkali berganti-ganti kaos kaki, baju, gaun, mantel, bahkan celana dalam.

Mengapa Columbus bisa menemukan benua Amerika? Ternyata bukan karena bondo nekad, tetapi sebenarnya konon karena Columbus tidak bisa membaca peta, tidak bisa menuju ke Barat. Andaikan Columbus bisa membaca peta, mungkin ia hanya akan sampai di Bombay, dan tidak perlu bersusah payah memecah sebutir telur di hadapan sidang penentang yang mencemoohnya. Dan akan sulit kita bayangkan bagaimana benua Amerika sekarang, bagaimana nasib dan nama orang-orang Indian. Menurut beberapa ahli sejarah yang kocak, Cleopatra dapat menaklukan Marcus Antonius karena Cleopatra punya hidung pas dan bagus. Andaikata hidung Cleopatra lebih mancung satu senti atau lebih pesek satu senti, maka mereka katakan sejarah dunia bisa berubah ke arah lain.

Sesuatu bisa terjadi karena pas atau tidak pas, bisa juga terjadi karena pasti atau tidak pasti. Kalau Bondo, teman saya yang orang Situbondo bilang ndilalah, kebetulan, konon kata itu sebenarnya singkatan dari kata adiling Gusti Allah, jadi sebenarnya berarti tidak ada yang terjadi kebetulan. Lain lagi Nuki, teman saya yang pengusaha, jika berkata sering didahului oleh kata-kata; boleh jadi, sama-sama tidak tahu, belum tentu, tidak mesti, tidak ada kata harus, mesti, atau kudu. Kita sering berjalan menuju yang pasti, tetapi di dalam perjalanan itu sering tidak ada kepastian. Kita menjadi leluasa berupaya, justru karena sesuatu sering tidak dapat dipastikan.

Perusahaan asuransi, menjadi ada dan berkembang karena antara perusahaan dan perseorangan saling mempertaruhkan ketidakpastian, yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Selayaknya setiap sales perusahaan asuransi jiwa, untuk menarik para peminat, berjualan dengan mensitir hadits Rasulullah: hamzah qabla hamzin, berjaga-jagalah dalam yang lima sebelum datang yang lima. Agar waspada, bersiap-siap terhadap sesuatu yang tidak pasti, bersiap-siap terhadap sesuatu yang pasti.

Berjagalah selagi hidup sebelum datang kematian, berjaga-jagalah selagi muda sebelum datang ketuaan, berjaga-jagalah selagi sehat sebelum datang sakit (agar jangan mudah sakit), berjaga-jagalah selagi kaya sebelum datang kemiskinan (agar tidak miskin kembali), berjaga-jagalah selagi lapang sebelum datang kesempitan.., begitu kira-kira makna hamzah qabla hamzin. Bagaimana caranya, saya tidak banyak tahu, tetapi yang jelas kita tetap disuruh berjaga-jaga, tidak disuruh kuatir, tetapi disuruh mengerti, seperti kata Marie Curie: "Tidak ada dalam hidup ini yang perlu dikuatirkan, ia hanya harus dimengerti."

Di suatu negara yang tidak tercantum di peta, yang sepersepuluh luas kota Milan tetapi agak lebih demokratis dari sidang Columbus, DPR-nya bersidang membahas kemiskinan dan pembangunan. Ketua DPR angkat bicara, "Negara kita miskin, tidak maju, saya usulkan kita menantang perang Amerika saja, agar kita kalah, kita dijajah, lantas dimerdekakan kembali dan jadi makmur, contohnya Jepang atau Hawaii."

Hampir semua anggota setuju, kecuali seorang dari partai gurem yang bicara, "Itu gagasan baik yang pernah ada, oke kalau kita yang kalah, tetapi bagaimana kalau justru kita yang menang, mengurus negeri ini saja sudah tidak becus, apalagi nanti kalau harus mengurus Amerika Serikat dan bekas jajahannya...? Kita hanya akan menambah dosa-dosa ketidakbecusan kita."

Perang Batal, tidak pasti siapa kalah siapa menang. Kadang dengan dalih demokrasi walau benar, banyak yang tidak pasti tetapi kita kerjakan, dan yang pasti justru tidak kita kerjakan.

Read More......

Saturday, June 30, 2007

Klaim

Kita harus memilih, karena biasanya hidup ini terdiri dari perbuatan-perbuatan memilih. Perbuatan-perbuatan yang pilihan. Kadang entah kita yang memilihnya atau kita hanya imbas dari pilihan orang lain.
Walau bukan satu-satunya pilihan, kita juga terkadang harus bertindak sebagai pemain, terkadang bisa juga menjadi wasit, manakala kita sudah tidak mampu lagi menjadi pemain.
Sebagai wasit kebanyakan dari kita lantas menjadi subyektif, agar selekasnya kemenangan berpihak kepada diri kita. Karena kita ingin selalu tetap dianggap benar, - bukan berusaha - justru untuk selalu tetap benar.
Kadang kitapun memang dipaksa mesti memihak. Mengapa seseorang yang mencoba untuk tetap tidak berbuat onar, mencoba berbuat adil secara pasif kadang bisa terancam karirnya?

Sebuah kelompok, sebuah perusahaan, sebuah pemerintahan adalah sesuatu yang hidup dan penuh emosi. Orang yang tidak mau berpihak, tidak akan populer bagi kedua kelompok yang bertikai. Ia tidak akan pernah dipaksa menyingkir bersama kelompok yang dikalahkan, tetapi juga tidak akan pernah dipandang serius oleh kelompok yang kebetulan memperoleh kemenangan.

Sebagai sebuah teka-teki, Tuhanlah yang memberi, oleh karena itu Tuhan pula yang berhak untuk mengambilnya. Kendatipun kita tahu persis bahwa urusan dunia kita anggap sebagai urusan kita sendiri.

Seringkali kita berdongkol, kerap kali kita bersedih ketika salah satu sumber kenyamanan kita terrenggut begitu saja. Tak jarang kita bersikap berlebih-lebihan, dalam menginginkan sesuatu. Kadang kita dibuai harapan yang kita ciptakan sendiri, akan sesuatu yang bukan milik kita.

Oleh karena itu, bisa jadi sikap yang paling mungkin kita kembangkan adalah berfikir kembali atas klaim kepemilikan kita atas dunia ini, seperti halnya raga kita, sebagai seonggok pakaian pinjaman dari-Nya, yang sewaktu-waktu dapat Ia ambil kembali.

Wallahu’alam bishshawaab..

Read More......

Friday, June 29, 2007

Tentang Ketidaksempurnaan dan Kesedihan

Yusuf Qardhawi dalam bukunya bercerita, bahwa suatu hari Khalifah Umar diprotes oleh sejumlah orang Mesir yang datang padanya. "Kami melihat beberapa perintah dalam Al-Qur'an yang seharusnya dilaksanakan, tetapi tidak dilaksanakan", kata kelompok orang Mesir itu.
Umar bertanya, "Apakah kamu membaca seluruh isi Al-Qur'an?". "Ya", jawab mereka. "Adakah kamu sudah menyesuaikan perbuatanmu, perkataanmu, dirimu, anggauta badanmu, gerakmu, dan diammu dengan Al-Qur'an?". "Laa. Tidak. Demi Allah".
Umar membelalakkan mata, "Masyaallah, jadi kamu akan membebankan kepada Umar bin Khattab, agar menegakkan kehidupan rakyat ini secara keseluruhan sesuai dengan Kitab Allah? Sedangkan Allah mengetahui akan selalu terjadi kepada kita beberapa keburukan?".
Umar telah menyampaikan suatu kearifan, perihal keterbatasan manusia.

Qardhawi, walaupun banyak menuai kontroversi akibat buku-bukunya, menitipkan pesannya, agar kita memilih sikap moderat, menjauhi sifat melampaui batas, untuk tidak mempersulit kebanyakan orang dan orang-orang kebanyakan. Dikutipnya pula ayat Al-Qur'an, "Allah tidak hendak menyulitkan kamu". Dan, "Allah melarang kamu berbuat berlebih-lebihan".
Akan tetapi kita kadang senang berbuat aneh-aneh. Tidak jarang justru ingin menjangkau sesuatu yang hampir mustahil, dan tidak wajar. Agaknya karena kita selalu dalam status yang tidak sempurna itulah, akhirnya kita menjadi sangat mudah terdera, mendzalimi diri sendiri, untuk menggapai yang paling sempurna!
Kita memang butuh prestasi. Sering kitapun butuh promosi. Kadang-kadang kita ingin juga tepuk tangan, yang diam-diam kita persembahkan kepada diri kita sendiri. Kita bisa juga menjadi alim, dan sadar bahwa tidak selamanya ambisi dapat terpenuhi. Masyarakat yang tanpa cacat tidak kunjung terjadi. Keburukan memang tetap mampir kepada diri kita. Kadang tanpa nama.
Seperti setiap kenyataan sejarah, manusia tidak pernah ditakdirkan untuk menang secara mutlak, setidaknya diperganti-gantikan. Ia tidak pernah bisa menguasai dunia yang tanpa konflik, tanpa rusuh, dan tanpa masalah, bahkan tidak pernah yang tanpa musuh.
Mahabarata, melalui komik karya RA.Kosasih yang ketika kecil sering baca dulu, tidak selalu lurus, selalu ada Kurawa, lantas baru ada cerita yang terlantun. Napoleon pun ketika memasuki istana Tuileries yang kosong lantaran ditinggal bangsa Bourbon berkata, "Kesedihanlah yang akhirnya selalu tampak, seperti halnya sebuah kemegahan".
Siapa yang menginginkan perdamaian bersiaplah untuk perang. Siapa yang inginkan kemapanan bersiaplah untuk menderita. Jika keburukan kebetulan memang mampir pada kita, pada moodnya atau tidak, cara penolakan yang paling diperlukan, adalah kesiapsiagaan kita untuk bisa menerimanya.
Rupanya memang hanya dunia tumbuh-tumbuhan dan hewanlah yang tidak pernah menolak nasib buruk ataupun nasib baik. Tidak perlu kesempurnaan. Tahan. Takdirpun bukan untuknya. Sepotong syair dibawah mungkin tepat untuk kita renungkan malam ini sebelum terlelap tidur,

Oh, hadapilah malam, badai, kelaparan,
cemooh,
olok-olok, tertawaan orang di belakang maupun di depan kita,
kecelakaan, ketidakberuntungan, serta penolakan,
seperti yang dihadapi semua hewan dan tumbuhan

Read More......

Tentang Kemenangan

Kalau ada yang tidak menjadi semakin ringan, hal itu pastilah kemenangan. Karena kita tahu bahwa setiap kemenangan adalah beban, perlu kekuatan untuk mempertahankannya dengan kemenangan-kemenangan baru, tantangan-tantangan baru, karenanya makin lama memang makin tidak pernah menjadi ringan.
Ironisnya, seperti sebuah kemenangan, "bahwa kebohongan adalah dosa yang bersambung, karena kebohongan harus ditutup pula dengan kebohongan yang lain." Tetapi kemenangan tidak selamanya segumpal dosa dan bukan pula seikat hakikat.
Berbicara soal kemenangan, ada yang lebih sulit dilakukan, yang hanya biasa dilakukan orang Indonesia, "Menang tanpa ada yang merasa dikalahkan." Tanpa menghinakan pihak yang kalah. Menang tanpa bertempur. Damai tanpa berperang. Semoga ini menjadi suatu citra, atau barangkali menjadi keinginan spirituil, agar pujangga-pujangga negeri lain tidak bertanya lagi, "how come?". Fantastic.

Konon, untuk meraih kemenangan, Napoleon menyuruh seluruh prajuritnya menyimpan masing-masing sebatang tongkat komando. Agar siapapun dapat dengan mudah kelak dinobatkan menjadi jenderal. Tetapi hasilnya hanya kematian sia-sia karena nekad. Dari perwira yang luka-luka, tidak seorangpun sampai menjadi jenderal, kecuali dirinya. Napoleon memenangkan perang, justru karena ia dapat mengalahkan prajuritnya sendiri.

Dalam dunia islam, secara klasik dinyatakan tidak ada musuh yang besar, tidak ada suatu kemenangan yang besar, yang ada adalah hawa nafsu yang berakibat buruk yang mesti diperangi, tetapi nafsu yang baik tetap harus dimenangkan. Masih adakah nafsu yang baik? Boleh jadi.

Kadangkala kemenangan besar bisa saja disebabkan oleh olok-olok. Dalam pertempuran sengit di Sisilia sewaktu mengusir penjajah, seorang jenderal dan pemersatu Italia, Giuseppe Garibaldi terkena lemparan batu. Ia pun berseru bahwa pasukan musuh telah kehabisan amunisi.
Laskarnya mendengar itu lantas lebih berani lagi menyerbu, dan pertempuran jarak dekat pun berkecamuk. Musuh akhirnya kalah, Sisilia jatuh. Beberapa bulan kemudian Italia menjadi satu. Karena Garibaldi dan sebutir batu.

Kemenangan bisa juga diakibatkan oleh hal-hal kecil, hal yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya, tetapi bahkan paling menentukan. Misalnya, imajinasi, emosi, bahkan keangkuhan, bahkan kesamaan penderitaan dan bahkan hanya karena keinginan itu sendiri menggebu-gebu untuk menang.

Di dinding ruang kerja seorang dokter hewan di Jalan Lombok, terpampang tulisan besar-besar, bukan untuk dibaca anjing, atau sapi, atau monyet:

In all games, always weigh risks against the results.
People take miracles for granted.
They only remember you by your mistakes

Read More......

Wednesday, June 20, 2007

Shih Huang Ti Sang Perkasa

Anugerah tidak selamanya berarti pahala, bisa juga kutukan, bisa ujian atau mungkin cobaan hidup. Ketika Midas yang raja turun dari Gunung Olympus, ia tersenyum, konon karena ranting yang ia sentuh tiba-tiba menjadi emas. Ia makin gembira ketika pohon, batu, yang ia raba berubah jadi emas. Ia baru saja mendapat anugerah dari Dewa Zeus, dewa mitos orang Yunani. Seluruh pintu dan perabotan istananya menjadi emas, bahkan beberapa menterinya yang tidak luput dari sentuhannya, terbelalak matanya ketika menjadi emas. Akan tetapi ketika ia akan kencing, dan ingin makan karena lapar, barulah ia sadar bahwa anugerah yang ia terima, ternyata sebuah kutukan, karena Midas terkenal sangat tamak akan harta, maka apapun yang disentuh menjadi emas.
Kaisar Shih Huang Ti, sang penakluk, pemersatu seluruh daratan Tiongkok pada kurang lebih 200 tahunan Sebelum Masehi, mempunyai seorang jendral pintar dan gagah perkasa, yang dengan mudah membuat negara kecil sekelilingnya bertekuk lutut.
Kaisar akhirnya iri dan cemburu kepada jendral yang setia dan hampir tidak punya cacat dan kesalahan itu. Suatu waktu jendral itu dikirimi makanan yang lezat-lezat, penuh lemak jenuh seperti babi, jeroan, bebek goreng, yang khusus dimasak di dapur kaisar, sebagai anugerah. Ketika jendral yang konon berpenyakit darah tinggi, kolesterol dan asam urat menumpuk itu menerima hidangan tersebut, ia menangis sedih, “Oh, kaisar sudah tidak senang padaku, ia mengharapkan kematianku”. Setiap hari makanan datang, setiap kali itu pula, karena setia, sang jendral melahapnya sampai ludes. Jendral itu mati karena serangan jantung, karena sedih, berumur tidak lebih dari 33 tahun. Anugerah bisa menipu, bisa juga bikin celaka.

Menurut salah seorang guru sejarah saya, entah ketika SMP atau SMA, suku bangsa pengembara Tuareg (Badwi), yang di Afrika itu, hampir bisa membedakan mana yang pahala dan mana yang petaka. Apabila sesuatu yang buruk terjadi, mereka akan berkata, “Mektoub”, sudah tertulis, memang ditakdirkan begitu. “Kismet” sudah nasib, apa boleh buat. Kita harus menerima kenyataan. Betapa seringnya hidup kita ditentukan nasib.
Konon di antara suku itu belum pernah ditemukan penyakit jantung karena sedih, kecewa, bete, atau karena sakit hati. Mereka biasanya pasrah terhadap hal yang tidak mungkin dihindari atau dielakkan. Mungkin kata-kata Mektoub dan Kismet merupakan obat yang paling mujarab daripada seribu obat penenang.

Walaupun tempatnya berjauhan, di halaman pertama ‘loose leaf’ yang isinya catatan kuliah, Budhi Haruman teman saya menulis, “Ya Allah, berilah saya kekuatan untuk menerima sesuatu yang tidak dapat dirubah, berilah saya keberanian untuk merubah apa yang dapat dirubah, dan berilah saya kebijaksanaan untuk membedakan antara keduanya”.

Bila bulan purnama, anak-anak Tuareg sepertinya biasa melagukan lagu kasidah merdu ini:


“Apabila Allah hendak menghinakan kehidupan seekor rayap,
dimuliakan-Nya rayap itu dengan dua belah sayap,
akhirnya ia terbang mencari api, yang membuat dirinya mati.
Apabila Allah hendak memuliakan kehidupan seekor ulat,
dihinakan-Nya ulat itu menjadi kepompong,
berhari-hari ia terkurung,
akhirnya ia menjadi rama-rama, dengan indahnya terbang kemana suka.”


Ketika pada tahun 300an SM Shih Huang Ti tebaring sekarat, ia berbisik kepada anak-anaknya, “Betul kata Kong Hucu, kita tidak dapat melihat bayangan wajah kita di air yang mengalir, kita hanya dapat melihatnya di air yang diam”.
Dan Shih Huang Ti yang gagah perkasa, memang lantas terdiam untuk selamanya, menyusul jendral-jendralnya.

Read More......

Tuesday, June 19, 2007

Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Ketika perang Vietnam berlangsung dengan dahsyat, tahun 1970, di tengah hutan di propinsi Me Kang Kang, satu peleton pasukan Green Berets dipimpin oleh sersan Money Do-Little membuat kubu pertahanan, dan menetap di sana sebagai patroli pengintai terdepan.
Di ketinggian limapuluh meter dari kubu itu, di atas pohon trembesi yang besar dan rindang, Silaw Dan Trang seorang sniper (baca: penembak jitu) tentara Viet Kong menempati posnya. Siang dan malam hampir tanpa istirahat ia mengarahkan senapan Kalashnikov yang berteleskop, dan menembaki setiap anggota Green Berets yang keluar masuk kubu atau yang kebetulan sedang santai, sehingga sangat merepotkan anak buah Do-Little.
Pleton Do-Little sudah sangat lama bertugas. Untuk mencegah merosotnya moral pasukan, diterbangkanlah peleton pengganti yang masih segar bugar, dipimpin oleh Letnan Price Do-Nothing seorang perwira muda lulusan West Point.
Ketika serah terima sedang berlangsung, melihat banyak tentara Amerika di bawah, seperti biasa Silaw Dan Trang menembakkan senapannya dengan gencar dan peluru panas pun berterbangan mencari sasaran sehingga seluruh pasukan semburat mencari perlindungan, menyelamatkan jiwa masing-masing.
Tembakan balasan dari bawah yang dilakukan oleh anggota peleton baru pun tidak kalah gencarnya, bahkan ngawur karena tembakan itu datang dari para prajurit yang panik dan baru saja terjun ke medan perang.
“Jangan tembak, jangan tembak !! Berlindung, jangan balas serangan, jangan balas, berlindung !!”, teriak Sersan Do-Little. Seluruh anggota peleton Letnan Do-Nothing terkejut dan heran, bertanya-tanya satu sama lain sambil terus menembak ke atas, sekenanya. “Sersan, ini berbahaya, mengapa tidak boleh menembak? Semua pasukanku bisa hancur, bisa habis.”, sergah Do-Nothing berang.
Sersan Do-Little sebagaimana layaknya prajurit berpengalaman, di tengah desingan peluru yang dimuntahkan senapan otomatik Silaw Dan Trang, dengan gemas berkata, “Letnan, sniper itu sudah berbulan-bulan berada di atas sana. Dari bawah jelas kita melihatnya. Setiap saat ia menembaki pasukan saya yang tampak olehnya. Sampai sekarang tidak seorangpun yang terluka. Kalau kita membalas menembak, dengan mudah kita dapat mengenainya. Kalau dia mati, pasukan Viet Kong pasti akan menggantinya dengan sniper lain. Dan kalau penggantinya sniper lain yang lebih pintar, maka matilah kita semua. Oleh karena itu biarkan saja ia tetap di sana.”

Banyak makna yang dapat kita peroleh dari kisah ini. Menghadapi seorang bodoh pun diperlukan kebijaksanaan dan tindakan bijaksana, agar kita tidak sengsara dibuatnya. Kalau kita sudah bertahun-tahun menduduki satu pos, tidak berarti bahwa kita cakap atau mampu, justru mungkin malah sebaliknya. Dibiarkannya kita menduduki pos itu agar tidak mengganggu tatanan yang ada.

Di dunia persilatan dikenal ungkapan: “di atas langit ada langit, dari yang kosong ternyata ada isi, dari yang isi ada kosong, di balik kelemahan lahir kekuatan, di balik kekuatan lahir kelemahan. Hantamkan yang keras kepada yang lunak, dan yang lunak kepada yang keras. Ketika orang lain melihat semua kelemahan dirimu, jangan takut, jangan merasa hina, bahwa sesungguhnya mereka telah buta akan seperti apa kekuatan dirimu sebenarnya.”, sabda Asmaraman S. Kho Ping Hoo.

Pendekar Kam Hong, Si Suling Emas yang terkenal itu, di hadapan musuhnya selalu merendah, “Maafkan saya yang hina telah buta, tidak melihat gunung Thay Shan yang tinggi telah berdiri di depan mata.”.

Read More......

Gila

Ada tiga orang gila dirawat dalam satu barak, yang pertama suka bertingkah, yang kedua suka memberi nasihat, dan yang ketiga merasa ia bukan dirinya.

Ketika yang pertama berteriak-teriak dan melompat-lompat, yang kedua berkata: “Hus jangan ribut, nanti Tuhan marah !”. Yang ketiga, merasa dirinya yang disebut, ia menyahut: “Ah tidak apa-apa, wong aku tidak marah kok.”

Sering kita bertindak seperti orang-orang gila itu. Sering ketiga kegilaan itu sekaligus menimpa diri kita. Kita bertidak melampaui batas dan tidak pada tempatnya. Kita merasa paling mengerti, senang melarang dan memberi nasehat kepada yang lain. Dengan yang kita miliki, dengan usaha, dengan ilmu yang kita peroleh, kita menjadi merasa sempurna, kita berbuat sekan Tuhan.

Bahkan dengan melakukan yang sedikit, kita sudah merasa paling hebat. Kita pun maklum semua orang gila tidak akan pernah membahas, apalagi menceritakan kegilaannya sendiri.

Sering kegilaan bisa timbul karena perasaan pesimis yang berlebih-lebihan. Karena pandangan yang tidak bisa memahami besarnya hikmah alam raya ini. Karena pandangan bahwa Tuhan seakan-akan telah menciptakan alam raya ini dengan bathil, tidak sempurna. Karena pandangan seperti ini pula yang menyebabkan kesulitan hidup manusia di dunia, dan pada gilirannya makin bertambah kesengsaraannya di akhirat.

Budhie Haruman, teman SMA dan kuliah saya, memberikan definisi bahwa beda antara orang gila dan yang tidak gila hanyalah terletak pada bagaimana dia menghargai dan menggunakan waktunya. Sedang kadar kegilaannya bisa diukur dari untung ruginya bagi orang lain Kalau waktu yang dia gunakan terus menerus hanya untuk satu hal maka dia gila, dan kalau waktu yang dia gunakan kadang-kadang, itu berarti dia waras.

Contohnya ialah: jika ia tertawa terus menerus itu namanya orang gila, jika ia menangis terus menerus tanpa berhenti itu namanya gila, jika kerjanya kawin terus, gila kawin. Jika cari harta terus menerus, gila harta. Kerja terus menerus, gila kerja. Dandan terus menerus, gila dandan. Marah terus, mengamuk terus, malas terus, namanya gila dan tidak perlu pakai sebutan lagi seperti gila marah, gila ngamuk, gila malas, tapi cukup gila saja. Silahkan cari contoh gila-gila lainnya.

Sering kegilaan berasal dari kebiasaan terlalu berat sebelah memikirkan diri sendiri. Dengan memikirkan orang lain, ringan terasa kesedihan kita. Dengan mengingat penderitaan orang lain, penderitaan kita hampir tidak ada artinya. Kadang kita merasa sangat sedih dan menderita karena kita belum mampu membeli sepatu baru, padahal di sekeliling kita banyak orang yang kehilangan kaki, justru bisa bergembira dan tertawa.

Hanya memikirkan diri sendiri, "yang penting asik aja buat gue", - istilah anak-anak muda sekarang- bertentangan dengan Sunatullah. Kita tahu bahwa keridhaan Allah banyak tergantung kepada keridhaan orang lain di sekeliling kita, contohnya nyata, seperti diajarkan bahwa keridhaan Allah bergantung kepada kedua orang tua.

Dengan mengingat orang lain, dengan menyambung tali kasih atas penderitaan orang lain, kita akan merasa berkecukupan. Kita sering merasa kaya, seandainya kita menganggap bahwa tetangga kita tidak memiliki sesuatu melebihi dari milik kita.

Inti silaturrahim, ukhuwah, adalah sebisa-bisanya meringankan beban orang lain dan membuat wajah orang lain lebih berseri-seri, bahkan Nabi Isa a.s. juga pernah berkata: “Senangkan dirimu dengan cara menyenangkan hati orang lain” Dan itu namanya rakhmi atau kasih.

Mungkin pada saat tertentu, dalam situasi tertentu, kekuasaan manusia menjadi sulit diukur, tetapi mustahil jika kemampuan-kemampuan mereka pada suatu ketika menjadi tidak terbatas.

Kebaikan dari dalam hati, agaknya memang membuat wajah kita selamanya lebih berseri-seri, sekalipun kita enggan menghitung, kemampuan dan kekuatan yang sudah kita miliki. Wallahu’alambishawab.

Read More......

Liverpool Football Club

Di tengah perang Badar yang dahsyat, suatu malam Rasulullah memeriksa laskar yang terluka. Seorang pemuda mengerang kesakitan dan sebatang anak panah masih menancap di perutnya. Rasulullah bersabda, "Siapa pemuda ini, demi Allah aku melihat ia akan menjadi penghuni neraka."

Umar bin Khattab menyela,"Ya Rasulullah, pemuda ini telah berjuang dengan gagah. Ia berada di garis paling depan, tidak pernah mundur setapak pun. Ia alim dan patuh kepada kedua orang tuanya. Ia syuhada. Bagaimana ia bisa menjadi ahli neraka?"

Di waktu subuh pemuda itu meninggal dunia. Umar bin Khattab memeriksa mayatnya. Terlihat bahwa anak panah yang menancap di perutnya tadi malam, kini bahkan tembus keluar di punggungnya. Rupanya ia telah meninggal karena tidak dapat lagi menahan sakit. Ia telah menekan anak panah itu lebih dalam lagi, untuk mengakhiri penderitaannya. Ia telah bunuih diri. Ia telah berputus asa. Betul sabda Nabi. Dan hukuman bagi orang yang berputus asa hanyalah neraka jahannam, di waktu hidup dan sesudah mati.
Pemuda itu telah mempercepat kematiannya. Ia tidak memiliki pengharapan sedikitpun. Ia tidak mau menunggu dengan tabah, apa yang akan diperbuat selanjutnya oleh hidup ini. Ia tidak mau menunggu walaupun hanya untuk beberapa jam saja dan membuang kesempatan untuk masuk sorga sebagai syuhada. Dan ini bukan kisah, tapi benar-benar terjadi, diriwayatkan dalam hadits Bukhari Muslim.
Pada tahun limapuluhan dalam film Carousel yang dibintangi Shirley Jones, Pat Boone lantunan suaranya yang digemari sekali oleh ayah saya, berpantun sebagai berikut:

- Kalau kamu berjalan dalam topan, jangan kamu putus harapan.
- Sebab di balik topan pasti ada langit keemasan.
- Dan kamu tidak jalan sendirian.
- Yang penting teruslah hidup,
- agar kamu dapat melihat kejadian selanjutnya dalam hidup.
Di Family Ties, film yang pernah diputar RCTI dan kembali ditayangkan di TPI, seorang gadis berkata pada ibunya,

"Betapa pun buruknya hari ini, pasti ada hari esok. Betapa pun buruknya nasib kita, pasti masih ada secercah harapan (asal kita beriman dan berbuat baik)."
Allah berfirman:"wa laa tahiinu wa laa tahzanuu wa antumul a'launaa in kuntum mukminiin - jangan kamu bersedih, jangan kamu berputus asa, sesunggunya derajatmu akan ditinggikan, asal kamu benar-benar beriman" (QS 3: 139).
Belakangan ayat ini menginspirasi DR.Aidh al-Qarni menerbitkan buku yang hampir 2 tahun lalu sempat menjadi best-seller di Mesir tempat asalnya sana maupun di Indonesia, Laa Tahzan, judul buku itu. Saya hampir yakin kebanyakan anda telah menyimpannya dalam rak buku anda.
Karena sifat manusialah selalu dirundung khawatir, dirundung cemas. Kita pun maklum, Piramida Maslow memasukan elemen security, atau rasa nyaman yang berasal dari rasa aman itu sebagai salah satu kebutuhan dasar hidup manusia.
Andaikata Tuan Noboru Hirajima dan kawan-kawannya berputus asa ketika kapalnya tenggelam di perairan Irian, andaikata mereka tidak punya harapan untuk bertahan lebih lama di atas sepotong papan, bahwa mungkin ada kapal lain yang akan menolong mereka, kita tidak akan sempat mendengar kisah mereka. Yang membuat mereka tetap hidup, bukan pelampung atau tubuh yang sehat, tetapi harapan untuk tetap hidup.
Karena adanya harapan itulah maka Allah berkenan untuk menolong dengan kapal Tug Boat dari Australia. Andaikata Tuan Noboru Hirajima dan kawan-kawanya, ketika di tengah laut merasakan hempasan ombak yang menggelora, hujan deras, malam gelap gulita, lantas berputus asa, tidak mempunyai harapan lagi, dan melepaskan tangannya dari tepi papan atau botol-botol gas LPG, maka mereka hanya akan menjadi santapan ikan hiu, atau kalaupun mujur, paling-paling hanya bisa menjadi bunga karang.

Siapa insan sepakbola yang tidak diaduk-aduk emosinya oleh drama final kejuaraan Eropa antar klub tahun 2005 yang lalu? Apabila Steven Gerrard dan teman-temannya berfikir bahwa pertandingan final telah berakhir ketika babak pertama usai, berhenti bertanding dan menyerah digunduli AC Milan 3-0, mungkin piala kejuaraan itu sekarang tidak berada di salah satu lemari kebanggaan klub sepakbola itu di kota Liverpool. Dan mungkin juga, bisa jadi, tidak akan pernah bisa ada di sana selama-lamanya.
Final pun berlalu, kondisi Liga Sepakbola Indonesia tidak banyak berubah, begitu juga nasib Timnas kita. Liverpool akhirnya berjaya lewat adu penalti, setelah skor imbang 3-3. Semua diraih oleh harapan dan perjuangan yang tidak kunjung padam, sebelum peluit tanda pertandingan usai ditiup wasit.
Bukan itu saja, bahkan Socrates pernah berkata:"Harapan adalah rotinya orang miskin". Karena itu sudah sepantasnya jika kita selalu berharap dan memberikan harapan-harapan kepada orang-orang yang belum mampu memilikinya dengan cara menghidupkan harapan-harapan mereka.

Read More......

Thursday, September 14, 2006

Eskimo

Saling mencinta, bukan suatu jaminan untuk merasakan saling berbahagia. Untuk kebahagiaan selalu ada perbuatan pilihan yang kadang amat pribadi. Untuk cinta, sebagaimana halnya kepercayaan, tidak ada pilihan lain kecuali percaya ataukah tidak percaya. Louisa May Alcott yang penulis berkata : “Sometimes a man (woman) love with a woman (man), but happy with another”. Setidak-tidaknya di dalam kehidupan ini pasti ada satu orang yang selalu memikirkan kita, yang memperdulikan kita, yang juga selalu kita pikirkan.
Sementara itu, merasa berbahagia sangatlah mudah, seperti ucapan banyak orang: “kebahagiaan dapat tumbuh dan berkembang di mana-mana, dan sarana untuk menyuburkannya hanya berada di dalam hati sanubari kita”. Kita bisa merasa berbahagia selama kita tidak memberi kesempatan kepada datangnya kesedihan. Kebahagiaan bukanlah benda, bukan pula sejenis keberadaan, tetapi rasa. Kesedihan kita beberapa tahun yang lalu, kalau kita kenang sekarang agaknya bukan kesedihan lagi, bahkan dapat berubah menjadi keharuan, rasa bangga, dan karenanya kitapun bisa merasakan sebagi suatu bentuk kebahagiaan baru. Kesedihan karena penderitaan, dan kebahagiaan, agaknya sama-sama bersumber dan bermuara kepada yang amat rahasia, terkadang kita terisak karena sedih, tetapi kita bisa juga menangis karena merasa berbahagia walaupun sejenak.
Orang eskimo, pada malam musim dingin yang panjang, mempunyai cara unik untuk menangkap serigala liar. Beberapa pisau tajam bermata duayang sudah diolesi darah, ditanam dalam salju dengan bagian runcngnya tegak lurus. Serigala yang lapar akan datang dan menjilati darah pada pisau-pisau itu. Tetapi karena rakus, lidahnya menjadi terluka, sehingga akhirnya tanpa disadari justru serigala itu menjilati darahnya sendiri, terus-menerus, yang mengucur dari luka-lukanya, dari tubuhnya. Demikian ketagihan, nikmat dalam memuaskan rasa lapar, tanpa berhenti, tidak perduli lagi, tidak bisa membedakan mana yang darahnya sendiri dan mana yang darah binatang lain. Dan keesokan harinya, orang-orang eskimo akan menemukan serigala-serigala yang sudah mati karena kehabisan darah, meskipun perutnya mungkin penuh dengan darah, darahnya sendiri, darah yang nikmat yang dihirupnya semalaman.
Kita sering mengejar kebahagiaan, tanpa mengingat akibat yang bisa terjadi, yang biasa dialami oleh serigala-serigala malang di dekat igloo orang-orang eskimo, dan kita pun sering lupa. Kita beruntung dan patut bersyukur jika kita dapat memetik pelajaran, baik dari perjalanan hidup, tanpa sedikit pun menderita kesulitan, dari pengalaman orang lain, tanpa merasa sedih. Lousa May Alcott, di dalam satu tulisannya, ketika ditanya mengapa ia tidak nampak sedih ketika mendengar kekasihnya gugur di medan perang barat : “I am smiling, to keep from crying”. Aku (selalu) tersenyum agar jangan sampai aku menangis.
Dari beberapa kejadian yang kita alami, yang dihadapi oleh orang lain, akhirnya kita sadar bahwa ternyata kita sendiri hanyalah manusia biasa. Cinta memang tidak dapat menjamin segalanya, kecuali barangkali, cinta kita yang ikhlas, cinta kita kepada Tuhan. Manifestasinya bisa sulit, mungkin juga tidak: “Selama kita masih merasa sebagai manusia biasa, di sanalah terletak bentuk keikhlasan cinta, keimanan kita, jalan kita kepada Tuhan”. Rainer Maria Rilke bernyanyi tentang Tuhan, ia berbisik dalam sajak: “Tuhan, arti keberadaan-Mu adalah kerendahan hati”.

Read More......

Hasbunallahu wani'mal wakiil


If you can keep your head
when all about you are losing their mind and blaming it on you,
If you can trust yourself
when all men doubt you, but make allowance for their doubting too.

If you can wait
And not be tired by waiting or being laid about
don’t deal in lies or being hated, don’t give way to hating and yet don’t look too good nor talk too wise..
If you can dream and not to make dream your master.
If you can think and not to make thought your aim.
If you can meet with triumph and disaster
and treat two imposter just the same

If you can bear to hear the truth you have spoken
twisted by knaves to make a trap for fools
or watch the things you gave your life to broken
and stoop and build them, then up with worn-out tools.

If you can make one heap of all you’re your winnings
and risk it in one turn of pitch and toss
and loss and start again at your beginning
and never breath a word about your loss…

If you can force your heart and nerve and sinew
to serve your turn long after they are gone
and so hold on when there is nothing in you
except the will that says to them hold on..

If you can walk with crowds and keep your virtue
or walk with king nor lose the common touch
If neither foes nor loving friends can hurt you
If all men count with you but none too much..

If you can fill the unforgiving minute
with sixty seconds worth of distant run
your is the earth and everything that’s in it
And which is more, you’ll be a man, my son..

Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung...

Read More......

Republik Ludruk


"Seorang politikus memikirkan pemilihan umum yang akan datang,
tetapi seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang..."


Dalam kehidupan politik, pola demokrasi ada juga yang seperti ludruk atau lenong betawi, setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat, dan setiap orang yang lainnya juga berhak untuk tidak mendengarkan. Dan untuk urusan berkata-kata, urusan menyatakan pendapat Al Qur'an mengajari kita misalnya dalam "..dan apabila kamu (semua) berkata hendaklah benar biarpun mengenai kerabat kamu sendiri (golonganmu). Dan penuhilah janji Allah. Demikian yang telah diperintahkan-Nya kepada-Mu (Muhammad) agar kamu mendapat peringatan" (Q.S. 6:152)

Kita punya maksud, kita memiliki rencana, begitu pula dengan orang lain. Kita kadang saling menuduh, walau yang kita tuduhkan kerap kali kita laksanakan, atau setidaknya ada keinginan untuk kita kerjakan. Kita seperti mau saling beradu, walau kenyataannya akhirnya kita harus berkompromi, saling berangkulan...
wallahu'alam bishawaab..

Read More......

Thursday, April 06, 2006

One Step from Paradise

So Close but yet so far away...


Read More......

Sunday, November 28, 2004

Prisoners in Paradise


Jean de La Fontaine, gemar bercerita, ia seorang bijak dan humoris ulung, yang hidup di Prancis dari tahun 1621 hingga 1695 (Kalau tidak salah). Dengan kerendahan hati ia berumpama melalui percandaan binatang-binatang, hanya karena segan bila langsung menunjuk sifat tidak sempurna umumnya manusia. Beberapa ceritanya kita ingat seperti pernah mendengarnya dari orang tua kita, ketika kanak-kanak.

Konon, kambing, domba dan babi, yang bersama dalam satu pedati, tiba di pasar. Mereka datang tidak untuk menonton atau pesiar, tetapi untuk dijual dan disembelih dalam rancangan skenario dagang seorang saudagar.

Babi itu menjerit-jerit, seakan hendak memekakkan telinga orang, Domba dan kambing yang lebih lunak, heran mendengar kawannya berteriak, karena tabiatnya yang suka damai mereka tidak merasakan bahaya dekat mengancam. “Hai babi, mengapa engkau ribut amat? Coba lihat domba dan kambing yang pendiam, belajarlah sopan sedikit dari mereka! Adakah kau dengar suara tidak sepatutnya dari moncong mereka? Mereka bijaksana”, kata saudagar.

“Mereka binatang gila dan bodoh.” sahut babi, “Kalau mereka sedikit saja mengetahui persoalannya, mereka pasti akan meratap keras-keras atau mengembik-embik pedih dan pilu. Mereka sangka orang membawanya kemari hanya untuk susu kambing atau bulu domba. Kalau demikian masih mending ada harapan, sedangkan untuk saya ini, aduh, cuma daging yang berguna.” Babi melanjutkan, “Lantas adakah harapanku, selain minta diri dari dunia yang fana ini?”

Sang babi bertutur lagaknya seorang pakar yang bijaksana. Tetapi adakah manfaatnya? Sebab, jika kemalangan sudah tidak terelakkan, ketakutan dan keluh kesah tidak akan pernah dapat sedikit pun menolong. Dan agaknya yang paling sedikit melihat kejauhan, merekalah yang bahkan lebih bijaksana, seperti sabda Rasulullah, “Kebanyakan penghuni sorga adalah orang-orang yang berakal yang berfikiran sederhana.” Agaknya diperlukan keseimbangan, antara keharuan dan tindakan yang lebih bijaksana.

Seekor bangau berjalan-jalan tidak tentu tujuan, di sepanjang sungai ia berkelana, ikan-ikan kecil sedang bermain-main di sana, bagi bangau mudah memancingnya karena mereka dekat ke tepian. Tetapi ia menahan lapar sambil mengharap barangkali ikan yang lebih besar akan muncul.

Sedang liurnya keluar, di dekatnya ikan-ikan kecil berlompatan timbul kepermukaan air, dengan sikapnya yang tak acuh bangau bergumam, “Makhluk begini siapa yang butuh, ia tidak pernah dimakan orang, dan aku bukan sembarang binatang.” Komentar bangau terhadap ikan-ikan kecil itu disambungnya dengan komentar terhadap belut, “Cucu ularkah ini? Aku takut ususku kalut apabila kutelan makhluk hitam ini.” Demikianlah ia, sampai malam larut tidak menjumpai lagi pengisi perut. Lalu konon, sesudah ususnya berbunyi keroncongan baru terpaksa dibuangnya kesombongan, dengan menelan hanya seekor siput.

Sudah sepatutnya bila kita belajar untuk puas dengan sesuatu yang telah tersedia, meskipun kurang dari cukup. Bila hasrat dan keinginan kita atas sesuatu terlalu kuat, maka keberuntungan akan jarang mendekat. Dan sudah sepatutnya pula bila kita tidak terlalu keras mencela terhadap sesuatu yang telah tersedia, terutama bila ternyata kebutuhan kita tidak jauh berbeda dengan yang ada.

Bukan kepada bangau, kepada kita pun banyak nasehat baik soal makan memakan, “Apabila kita sekarang gemar menyantap makanan yang lezat dan manis-manis, maka tunggulah saatnya kelak, kita akan bersedih hati karena harus selalu meminum obat yang pahit-pahit”, begitulah kira-kira bunyi kasidah tabib Arab.

Joey Tempest, vokalis, sekaligus pentolan group rock Europe, bukan pujangga, namun cukup bijak untuk memberi nasehat pada kita dalam salah satu syair lagunya:


“…sometimes what you want aint what you need.
…aint it hard to find illusions when you’re livin in the memories.”

Just like prisoners in paradise
So close but yet so far
There will come a time no matter who you are
When you ask yourself was it right or wrong, for me to turn away, but hey
We're just children of tomorrow hangin' on to yesterday

Prisoners in paradise,
Still far from heaven's door
We had it all but still we wanted more
Now I realize that I can't turn back, the future's here to stay, but hey
We're just children of tomorrow hangin' on to yesterday

Read More......

Ada dan Tiada


Di sebuah Sekolah Dasar di suatu negara yang menganut sistem pendidikan liberal-modernis (baca: kemerdekaan berpersepsi), seorang guru berkata kepada anak-anak murid kelas enam, “Apakah kalian melihat diri saya?”
Mereka menjawab, “ya.”
“Dengan begitu, berarti saya ada,” kata sang guru.
“Apakah kalian melihat papan tulis?” tanyanya lebih lanjut.
“Ya.”


“Jika demikian, papan tulis itu ada.” kata sang guru.
“Apakah kalian melihat meja itu?” tanyanya lebih lanjut.
“Ya.”
“Berarti meja itu ada,” kata sang guru.

“Apakah kalian melihat Tuhan?” tanyanya lagi.
“Tidak.”
“Itu berarti Tuhan tidak ada,” guru itu berhenti sampai di sini.

Selanjutnya, seorang murid yang cerdas berdiri dan bertanya,
“Apakah kalian melihat akal guru kita?”
Mereka menjawab, “tidak.”
“Dengan demikian, akal guru kita tidak ada!” lanjut anak itu sambil duduk kembali dengan manisnya.

Read More......

Agus Salim

Agus Salim adalah diplomat ulung yang pernah dimiliki suatu bangsa. Beliau fasih beberapa bahasa asing dan pandai berpidato, belajar sendiri tanpa guru, sering memakai sarung dan peci, berkumis dan berjanggut. Konon dalam suatu pertemuan dengan Belanda, ketika beliau naik ke atas podium, sebagian hadirin dengan riuhnya mengembik-embik, tanda tidak senang. Dengan tenang beliau membuka pidatonya : “Hadirin sekalian, barangsiapa di antara hadirin merasa dirinya seekor kambing, kami persilahkan keluar ruangan, karena pertemuan ini hanya disediakan untuk manusia, bukan untuk kambing-kambing”. Maka jadi malulah antek kolonial yang mengembik-embik.
Konon pula kabarnya ketika beliau makan malam dengan jamuan resmi dengan ratu Inggris, seorang diplomat setengah menghina bertanya: “Saya dengar kebanyakan bangsa Tuan kalau makan masih menggunakan jari tangan, kedengarannya kotor sekali, bukan seperti sendok-garpu orang Eropa atau sumpit orang Cina. Dan manakah yang paling bersih di antara ketiganya?”. Seraya melihat sekeliling, Agus Salim menjawab : “Tuan betul. Sendok-garpu memang bersih, apalagi jika dibuat dari perak. Sebelum dipakai terlebih dahulu dicuci oleh pelayan. Sumpit bersih dan amat praktis, sekali pakai bisa dibuang, bisa juga dicuci untuk dipakai lagi”.
Setelah batuk sedikit beliau melanjutkan: “Tetapi yakinkah Tuan bahwa sendok yang Tuan pakai itu benar-benar suci? Karena waktu mencucinya Tuan tidak melihatnya, bagaimana mencucinya dan air apa yang dipakai, atau kalau sebelumnya diludahi atau dikencingi pelayan pun Tuan tidak akan tahu. Sumpit begitu juga, Tuan tidak akan tahu kayu atau bambu yang dipakai ternyata beratus tahun tumbuh di atas bangkai, pupuknya tahi sapi. Tuan tidak akan tahu kalau garpu atau sumpit itu sebelum dicuci sudah dipakai oleh pelayan Tuan untuk menggaruk punggung, mengaduk comberan, membunuh coro atau menindas ketombe. Kalau sang pelayan sedang marah, semua yang buruk-buruk bisa terjadi terhadap peralatan makan Tuan, tanpa kelihatan”.
Yang hadir sudah merah padam mukanya. Tapi Agus Salim tetap melanjutkan : “Dan siapakah yang dapat meragukan kesucian dan kebersihan jari tangan kita sendiri? Kita paling tahu apa yang kita pegang, sebelum kita makan. Kita paling tahu kalau jari tangan kita sudah dipergunakan untuk mencolek lubang hidung, lubang telinga, lubang pantat atau mencolek lubang-lubang lainnya”.
Bukan soal, apakah kita mau pakai sumpit, sendok atau dengkul, silahkan pilih sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kearifan yang bisa kita simak ialah kita diajarkan untuk selalu mengenal diri sendiri. Socrates dalam setiap kesempatan berkata: “Nosce te ipsum – kenalilah dirimu sendiri.” Al-Hallaj, Syeh Siti Jenar, dan beberapa sufi Islam berpendapat bahwa jalan untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri. Logis, untuk mengenal Sang Pencipta, kenalilah ciptaannya, kecuali diantara kita ada yang merasa bukan ciptaan siapa-siapa. Mengenal diri sendiri sangat luas maknanya. Sun Tzu yang ahli perang juga berkata: “Barang siapa mengenal diri sendiri dan mengenal diri musuh, maka ia sudah memenangkan separuh peperangan. Yang seperempatnya adalah mengenal medan. Seperempatnya lagi silahkan cari.

Mengenang Agus Salim, saya teringat kakek saya yang selalu menghardik dengan pepatah Belanda, agar berpakaian lebih rapi. “De kleren maken de man – pakaian membentuk seseorang”. Dan kalau kita merenggut, ditambahnya lagi: “Geleende kleren doen niemand eer – pakaian pinjaman tidak membawa kehormatan”. Jadi kenalilah diri kita sendiri, kenali diri kita yang sebenarnya seonggok barang pinjaman, yang pada saatnya pasti akan diminta kembali.

Read More......

Monday, November 15, 2004

Kiat


Pada suatu hari di musim dingin yang berkabut, di pinggiran kota Tokyo, dengan kaki terpincang-pincang, seorang laki-laki yang kelihatan sangat tua dan kotor, bahkan sangat miskin memasuki sebuah toko makanan yang mewah, yang baru saja dibuka hanya untuk membeli sepotong roti sarapannya karena sejak kemarin sore, perutnya tidak kemasukan makanan sedikitpun.


Dengan menggenggam beberapa uang receh yang sudah kusam orang tua tersebut dengan tertatih-tatih menunjuk sepotong roti yang paling murah dan paling kecil di lemari kaca.

Namun ia tidak segera dilayani. Bahkan para pegawai dan pelayan yang masih muda dan cantik serta bersih lagi wangi itu, saling berpandangan, tersenyum-senyum penuh arti karena kedatangan tamu pertama pagi itu mereka anggap telah merusak suasana harmoni di toko itu.

Beberapa pelayan diam-diam menuduhnya sebagai pengemis yang tidak tahu diri, karena lain dari biasanya pembeli di toko itu adalah para eksekutif yang berkantong tebal, berpakaian indah-indah, bermobil dan membeli makanan dalam jumlah berlimpah-limpah.

Melihat dan merasakan suasana yang tidak mengenakkan dari balik kaca ruang kerjanya yang temaram, si pemilik toko segera keluar menemui si orang tua, mengambilkan roti yang ditunjuknya, membungkusnya dan menyerahkannya, bahkan menghitung uang kembaliannya. Dan seperti lazimnya orang Jepang dengan terbungkuk penuh hormat mengucapkan terima kasih dan meminta maaf dengan tulus atas perlakuan para karyawannya yang tidak segera melayaninya.

Semua sudah berlalu, si orang tua cepat-cepat keluar dari toko. Tapi suasana tegang masih menyelimuti ruangan itu. Tiba-tiba seorang pegawai senior yang sudah lama bekerja di toko itu bertanya kepada si pemilik toko: “Sudah sepuluh tahun saya bekerja di sini. Dan selama itu Tuan tidak pernah saya lihat melayani sendiri para pembeli, bahkan langganan kaya yang membeli setiap hari dalam jumlah besar pun tidak pernah Tuan layani. Tetapi mengapa terhadap pembeli tadi Tuan telah bersusah payah melayaninya, sedangkan kami sendiri pun enggan melayaninya?”

Si pemilik toko dengan sungguh-sungguh menjawab: “ Tahukah kamu bahwa dialah sebenarnya pembeli yang paling terhormat. Dialah pembeli yang sebenarnya pembeli. Karena untuk sampai kemari dengan berjalan kaki, dia harus bangun lebih cepat dari biasanya. Karena untuk dilayani lebih awal agar tidak mengganggu pembeli yang lain, dan malu karena dia tahu bahwa uangnya hanya cukup untuk membeli sepotong roti yang paling kecil. Dia sudah lama kedinginan menunggu di luar sebelum toko ini dibuka, sebelum pembeli yang lain berdatangan. Karena miskinnya dia harus menabung beberapa hari agar dapat membeli roti itu, sementara orang lain cukup dengan selembar ‘credit card’. Saya yakin, sesampai di rumahnya dia akan memakan roti itu dengan lahap, dengan nikmat, karena hanya itulah persediaan yang dia miliki dan dia idamkan. Sedangkan yang lain datang membeli hanya karena toko kita sudah terkenal dan menjanjikan gengsi”.

Akhirnya semua tersadar, tapi sudah terlambat. Memang yang datangnya paling akhir di muka bumi ini hanyalah rasa sesal, diawali kesadaran, kalau ada. Sedihnya karena sesal datang dari prasangka baik atau buruk. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”. (QS.2:216)

Read More......

Dubur

Ada seminar. Mata, Limpa, Jantung, Ginjal, Kaki, semua berkumpul untuk mendiskusikan peran setiap bagian tubuh. Tulang punggung yang lazim disebut, tidak ikut. Kalau mau jujur memang ia tidak seharusnya selalu diandalkan. Mata berkata: “Tanpa saya hidup tidak ada artinya. Tanpa saya manusia tidak dapat melihat hijaunya hijau, terangnya bulan, dan cantiknya panorama”.
Jantung pun angkat bicara: “Tanpa saya kehidupan itu sendiri tidak akan pernah ada”. Semua terdiam. Mana ada yang berani menggugat kemustahakan jantung. Peserta seminar keasyikan mendengarkan pembicara yang lain. Tiba-tiba dubur berdiri, mengacungkan telunjuknya, dan berkata: “Jadi kalau begitu saya ini tidak ada gunanya”. Semua lalu tertawa. Mentertawakan dubur yang dianggap mereka sangat tidak tahu diri.


Karena kesal, Dubur lalu mogok kerja. Mampet total. Setelah tiga hari, mata berkunang-kunang. Jantung berdebar-debar. Otak buntu dan Usus melilit-lilit. Hati –pabrik kimia tubuh- kalang kabut karena sistemnya menjadi kacau. Pada hari ke-empat, mereka terpaksa mengadakan seminar lagi memberi pengakuan terhadap peranan Dubur dalam bangunan organisasi yang bernama manusia. Semua merasa ngeri. Takut Dubur benar-benar mogok total. Dubur senang menerima pengakuan itu, lantas bekerja kembali dan semuanya berjalan lancar.

Kita ini apalah artinya. Mungkin hanya sebuah jaringan Dubur dalam perusahaan atau organisasi. Hanya sekrup kecil dalam mesin yang besar. Ungkapan ini sering kita dengar dari mulut orang yang merasa dirinya tidak berguna. Rasa nobodyness yang jelas-jelas mengganggu motivasi bertindak. Pernah kejadian di sebuah percetakan ada sekrup kecil yang tidak diakui fungsinya terpelanting dan masuk di antara rol bantalan cetak. Sekrup baja itu langsung menghancurkan alat yang paling vital. Mesin cetak itu terpaksa macet sebulan karena bantalan yang baru harus didatangkan dari Jerman. Sebuah sistem akan berjalan lancar jika semua sekrup berfungsi dengan baik.

Pak Ukar adalah contoh sekrup kecil yang tidak terkenal. Setiap pagi ia membersihkan kantor, merapikan meja-meja kerja, membuang puntung rokok, dan mengumpulkan kembali kertas-kertas yang sudah dibuang, karena ia fikir bahwa semua kertas asal berada di kantor, pasti kertas itu dokumen maha penting.

Ia tidak punya pretensi apa-apa. Ia menyadari fitrahnya sebagai karyawan yang juga dimanfaatkan sebagai tukang sapu. Ia bukan orang yang berkata: “Sekarang tukang sapu, besok manager – yang lantas ngambek dan ikut main golf (golongan frustasi) – lantaran besok ternyata ia tidak menjadi manager. Jika ia tidak masuk satu hari saja maka kacaulah sistem kerja di kantor. Ia tidak punya ambisi dan mudah diatur. Bagi perusahaan yang sedang tumbuh orang tanpa ambisi menjadi beban, karena sulit diajak ikut tumbuh. Tetapi Pak Ukar mempunyai semangat kerja yang lahap.

Kelahapan semangat dapat diciptakan. Di Jepang misalnya orang menumbuhkannya dengan semangat ‘ba’. Dengan semangat ba seseorang dibuat bangga dengan tempatnya bekerja, bukan dengan jabatannya. Seorang sopir NHK memakai jas biru yang sama dengan kameraman dan jas direkturnya, lengkap dengan sulaman lambang NHK di dada. Ia memang sadar bahwa ia seorang sopir – tapi sopir yang punya kontribusi yang diakui dalam sistem penyiaran informasi NHK ke seluruh dunia. Bagaimana dengan pakaian kerja di sini? Biasanya untuk kepala bagian ke atas, seperti iklan pabrik rokok: ‘kami memang beda’. Kita seperti jarang mengenal dubur, sekrup, atau ‘ba’, yang kita kenal setiap hari hanyalah senda gembira: ‘ciluuuk-baa’.

Read More......

George Bernard Shaw


Dusta, sebagaimana halnya cinta, adalah perkakas umum, tidak manusiawi, tetapi duniawi, perkakas yang universal. Dusta di mana-mana sudah menjadi semacam ‘social practice’ belum lagi dengan alasan ‘pragmatic’.


Di pedesaan Madura, cinta sering diutarakan sejujurnya, unik kedengarannya dalam kidungan: “Aku cinta kepadamu karena engkau tidak takut berjalan sendirian di malam-malam. Aku cinta kepadamu karena engkau tidak dusta membalas cintaku diam-diam”. Tidak seperti lagu cinta sejuta, yang mendayu sejuta cinta, yang hampir tidak masuk akal. Cinta memang tidak harus masuk akal, dan memang tidak perlu akal, kecuali barangkali seringkali terjadi cinta akal-akalan. Cinta tidak perlu latihan, sedang dusta memerlukannya, begitu juga pengalaman.

“Pengalaman adalah sebuah nama indah, yang acapkali diberikan kepada semua kesalahan, yang telah diperbuat oleh seseorang”, kata George Bernard Shaw. Kita berdusta karena merasa salah, jarang karena merasa benar. Ada juga dusta yang benar, tidak benar-benar dusta, tetapi tetap dianggap bersalah. Pengalaman tidak pernah dusta.

Ketika Islam merata di Jazirah Arab, tidak ada keaiban yang dapat meruntuhkan kehormatan seseorang kecuali dusta. Jika seorang muslim menjentikkan jari telunjuk dan jempol tangan, memanggil anak unta supaya mendekat, dan ada muslim lain yang melihat, orang itu sudah dianggap dusta. Ia penipu, karena ia memanggil anak unta hanya dengan bunyi dan lambaian tangan. Mengapa tidak menggunakan rumput segar, umpan kesukaan unta? Jangan coba-coba menyuruh anak babi masuk kandang dengan menariknya, ia akan mogok, bahkan mundur. Tapi jika kita mendorong kepalanya kuat-kuat lantas tiba-tiba melepaskannya, ia akan nyelonong sendiri masuk kandang. Memanggil agar mendekat, menghimbau, tidak cukup dengan kata-kata atau bunyi-bunyian, menghimbau adalah perbuatan nyata, sebaiknya berusaha dengan suatu cara, dan menyisakan sedikit “kesukaan-kesukaan” orang yang dihimbau.

Karena dusta, cinta dan benci hanya perkakas, ahlus-sunnah meriwayatkan, Rasulullah perna berkata: “ Jika engkau mencintai seseorang yang memang seharusnya engkau cintai, maka cintailah dia dengan sebaik-baiknya, karena siapa tahu kelak engkau dan dia akan berbalik menjadi saling membenci. Jika engkau membenci seseorang yang memang seharusanya engkau benci, maka bencilah dia dengan sebaik-baiknya, karena siapa tahu kelak engkau dan dia akan menjadi saling mencintai”. Agaknya kita diminta agar tidak berlebihan menggunakan perkakas, agar tidak aus, tidak diri kita yang tertelan perkakas.

Albert Einstein dan Bernard Shaw, mempunyai sosok dan wajah yang jauh dari gagah, tetapi dikarunia otak yang cemerlang. Ketika Bernard Shaw dijamu makan malam di kalangan para bangsawan Inggris yang rata-rata pesolek, seorang nyonya yang amat rupawan berseloroh tentang keburukan wajah Bernard Shaw: “Tuan Shaw, umpama kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan yang serasi. Anak-anak yang lahir akan mewarisi keunggulan kita berdua: mereka akan pintar seperti Tuan, dan cantik rupawan seperti saya”. Dengan tersipu Bernard Shaw menjawab: “ Betul juga kata Nyonya, tetapi bagaimana jika Allah justru menghendaki sebaliknya: anak itu buruk seperti saya, dan berotak bodoh seperti Nyonya”.

Kitapun sering bimbang, siapakah sebenarnya yang berkata, Albert Einstein ataukah Bernard Shaw. Tetapi agaknya tidak menjadi soal, karena yang terpenting bagi sebuah himbauan yang tidak dusta, adalah: The Song, Not The Singer.

Read More......

Shih Huang Ti dan Tukang Kereta

Hidup adalah sebuah perlombaan tanpa bisa ditentukan terlebih dahulu siapa sang pemenang. Dalam perlombaan pasti ada yang harus kalah, seperti kata Chairil Anwar: “Hidup hanya menunda kekalahan”. Kitapun yakin: kadang-kadang memang kalah.
Pada jaman kaisar Shih Huang Ti, 2500 tahun yang lampau, hidup seorang tukang kereta yang sudah uzur, tetapi tangkas, berani dan cerdas. Ia selalu menang perang, lagi pula juara lomba balap kereta di seantero jagad daratan Cina. Karena prestasinya tidak pernah terkalahkan, kasiar menyuruh putra mahkota berguru, agar kelak di samping menjadi kaisar, ia bisa sebagai sais ulung di dunia. Setelah lama belajar dan berlatih dengan giat dan tekun, putra mahkota menjadi mahir pula, dan tukang kereta itu sudah menganggap setara. Shih Huang Ti, pembangun tembok besar Cina, adalah pemimpin yang bijaksana. Mengetahui bahwa putranya sudah tamat belajar, untuk mengujinya dirancanglah perlombaan kereta sejauh 100 li (50 km) antara sang guru dan sang murid.
Konon perlombaan hari itu disaksikan oleh para naga, juga dewa-dewa orang Cina. Ternyata bahwa naga dan dewa-dewa tidak banyak menolong. Putra mahkota itu ternyata kalah! Putra mahkota yang semakin kagum lantas bertanya kepada sang guru: “Mengapa ia yang muda, tangkas, gagah, dengan kuda-kuda yang paling perkasa, dengan kereta yang paling canggih, masih bisa terkalahkan oleh seorang tua bangka?”

Dikhidmati kaisar, nayaka dan sentana, dengan runtun dan runtut dijawabnya pertanyaan putra mahkota: “Tua atau muda bukan soal pokok. Dalam setiap perlombaan kereta, ada tiga perkara dasar, tiga kebijaksanaan, yang memang semestinya kita kuasai. Pertama: watak saisnya. Kedua: kebiasaan kudanya. Ketiga: keadaan keretanya. Tentu saja masih ada faktor lain seperti tiupan angin, lika-liku lapangan, bahkan ulah pemirsanya, dan yang di luar kemampuan kita”.

“Ketika bertanding, pandangan Anda hanya tertuju kepada saya. Ketika saya di depan, Anda Cuma berusaha keras melewati saya dengan mengabaikan lainnya. Ketika saya tertinggal di belakang, bahkan Anda sering menoleh ke arah saya. Motivasi dan tekad Anda kurang sempurna, karena yang ada di benak Anda hanya bagaimana caranya mengalahkan saya, bukan untuk memenangkan perlombaan. Di dalam setiap perlombaan, kemenangan hanya dipastikan oleh siapa yang terlebih dahulu mencapai garis finish, bukannya: Siapa mengalahkan Siapa”.

“Setiap kuda mempunyai kebiasaan dan kesukaannya masing-masing yang harus diperhatikan. Sebelum berlomba, saya mengelus-elusnya. Ada yang suka tali kekang lembut, ada sebaliknya. Ada yang suka dilecuti. Ada yang dipanggil namanya saja sudah berlari. Yang anda lakukan hanyalah mencambuk mereka kuat-kuat. Bagaimana Anda akan menang, jika kuda-kuda Anda berlari kencang hanya karena kesakitan, sedangkan kuda-kuda saya berlari, karena suka hati”.

“Kereta Anda adalah yang terbaru dan terkuat di Cina. Tetapi sudahkah Anda periksa? Seringkah Anda meminyakinya? Adakah pasak yang hampir lepas dan berkarat, karena buatan manusia tidak ada yang sempurna? Saya selalu merawatnya. Saya mencintainya. Saya teliti setiap saat keadaan roda-rodanya”.

Menyimak jawaban tukan kereta, Shih Huang Ti berfikir semakin arif. Bahwa sais: bisa kaisar, bisa pemimpin. Bahwa kuda: bisa pegawai, serdadu, atau rakyat. Kereta: bisa coolstorage, conveyor, perusahaan, negara, bahkan apa saja yang nyata. Dalam bersaing, tukang kereta ini agaknya benar. Persaingan: bukan lotere atau judi, juga bukan dendam kesumat apalagi media untuk membanggakan serta menyombongkan diri.
Wallahualam bishawaab.

Read More......