Saturday, June 30, 2007

Klaim

Kita harus memilih, karena biasanya hidup ini terdiri dari perbuatan-perbuatan memilih. Perbuatan-perbuatan yang pilihan. Kadang entah kita yang memilihnya atau kita hanya imbas dari pilihan orang lain.
Walau bukan satu-satunya pilihan, kita juga terkadang harus bertindak sebagai pemain, terkadang bisa juga menjadi wasit, manakala kita sudah tidak mampu lagi menjadi pemain.
Sebagai wasit kebanyakan dari kita lantas menjadi subyektif, agar selekasnya kemenangan berpihak kepada diri kita. Karena kita ingin selalu tetap dianggap benar, - bukan berusaha - justru untuk selalu tetap benar.
Kadang kitapun memang dipaksa mesti memihak. Mengapa seseorang yang mencoba untuk tetap tidak berbuat onar, mencoba berbuat adil secara pasif kadang bisa terancam karirnya?

Sebuah kelompok, sebuah perusahaan, sebuah pemerintahan adalah sesuatu yang hidup dan penuh emosi. Orang yang tidak mau berpihak, tidak akan populer bagi kedua kelompok yang bertikai. Ia tidak akan pernah dipaksa menyingkir bersama kelompok yang dikalahkan, tetapi juga tidak akan pernah dipandang serius oleh kelompok yang kebetulan memperoleh kemenangan.

Sebagai sebuah teka-teki, Tuhanlah yang memberi, oleh karena itu Tuhan pula yang berhak untuk mengambilnya. Kendatipun kita tahu persis bahwa urusan dunia kita anggap sebagai urusan kita sendiri.

Seringkali kita berdongkol, kerap kali kita bersedih ketika salah satu sumber kenyamanan kita terrenggut begitu saja. Tak jarang kita bersikap berlebih-lebihan, dalam menginginkan sesuatu. Kadang kita dibuai harapan yang kita ciptakan sendiri, akan sesuatu yang bukan milik kita.

Oleh karena itu, bisa jadi sikap yang paling mungkin kita kembangkan adalah berfikir kembali atas klaim kepemilikan kita atas dunia ini, seperti halnya raga kita, sebagai seonggok pakaian pinjaman dari-Nya, yang sewaktu-waktu dapat Ia ambil kembali.

Wallahu’alam bishshawaab..

Read More......

Friday, June 29, 2007

Tentang Ketidaksempurnaan dan Kesedihan

Yusuf Qardhawi dalam bukunya bercerita, bahwa suatu hari Khalifah Umar diprotes oleh sejumlah orang Mesir yang datang padanya. "Kami melihat beberapa perintah dalam Al-Qur'an yang seharusnya dilaksanakan, tetapi tidak dilaksanakan", kata kelompok orang Mesir itu.
Umar bertanya, "Apakah kamu membaca seluruh isi Al-Qur'an?". "Ya", jawab mereka. "Adakah kamu sudah menyesuaikan perbuatanmu, perkataanmu, dirimu, anggauta badanmu, gerakmu, dan diammu dengan Al-Qur'an?". "Laa. Tidak. Demi Allah".
Umar membelalakkan mata, "Masyaallah, jadi kamu akan membebankan kepada Umar bin Khattab, agar menegakkan kehidupan rakyat ini secara keseluruhan sesuai dengan Kitab Allah? Sedangkan Allah mengetahui akan selalu terjadi kepada kita beberapa keburukan?".
Umar telah menyampaikan suatu kearifan, perihal keterbatasan manusia.

Qardhawi, walaupun banyak menuai kontroversi akibat buku-bukunya, menitipkan pesannya, agar kita memilih sikap moderat, menjauhi sifat melampaui batas, untuk tidak mempersulit kebanyakan orang dan orang-orang kebanyakan. Dikutipnya pula ayat Al-Qur'an, "Allah tidak hendak menyulitkan kamu". Dan, "Allah melarang kamu berbuat berlebih-lebihan".
Akan tetapi kita kadang senang berbuat aneh-aneh. Tidak jarang justru ingin menjangkau sesuatu yang hampir mustahil, dan tidak wajar. Agaknya karena kita selalu dalam status yang tidak sempurna itulah, akhirnya kita menjadi sangat mudah terdera, mendzalimi diri sendiri, untuk menggapai yang paling sempurna!
Kita memang butuh prestasi. Sering kitapun butuh promosi. Kadang-kadang kita ingin juga tepuk tangan, yang diam-diam kita persembahkan kepada diri kita sendiri. Kita bisa juga menjadi alim, dan sadar bahwa tidak selamanya ambisi dapat terpenuhi. Masyarakat yang tanpa cacat tidak kunjung terjadi. Keburukan memang tetap mampir kepada diri kita. Kadang tanpa nama.
Seperti setiap kenyataan sejarah, manusia tidak pernah ditakdirkan untuk menang secara mutlak, setidaknya diperganti-gantikan. Ia tidak pernah bisa menguasai dunia yang tanpa konflik, tanpa rusuh, dan tanpa masalah, bahkan tidak pernah yang tanpa musuh.
Mahabarata, melalui komik karya RA.Kosasih yang ketika kecil sering baca dulu, tidak selalu lurus, selalu ada Kurawa, lantas baru ada cerita yang terlantun. Napoleon pun ketika memasuki istana Tuileries yang kosong lantaran ditinggal bangsa Bourbon berkata, "Kesedihanlah yang akhirnya selalu tampak, seperti halnya sebuah kemegahan".
Siapa yang menginginkan perdamaian bersiaplah untuk perang. Siapa yang inginkan kemapanan bersiaplah untuk menderita. Jika keburukan kebetulan memang mampir pada kita, pada moodnya atau tidak, cara penolakan yang paling diperlukan, adalah kesiapsiagaan kita untuk bisa menerimanya.
Rupanya memang hanya dunia tumbuh-tumbuhan dan hewanlah yang tidak pernah menolak nasib buruk ataupun nasib baik. Tidak perlu kesempurnaan. Tahan. Takdirpun bukan untuknya. Sepotong syair dibawah mungkin tepat untuk kita renungkan malam ini sebelum terlelap tidur,

Oh, hadapilah malam, badai, kelaparan,
cemooh,
olok-olok, tertawaan orang di belakang maupun di depan kita,
kecelakaan, ketidakberuntungan, serta penolakan,
seperti yang dihadapi semua hewan dan tumbuhan

Read More......

Tentang Kemenangan

Kalau ada yang tidak menjadi semakin ringan, hal itu pastilah kemenangan. Karena kita tahu bahwa setiap kemenangan adalah beban, perlu kekuatan untuk mempertahankannya dengan kemenangan-kemenangan baru, tantangan-tantangan baru, karenanya makin lama memang makin tidak pernah menjadi ringan.
Ironisnya, seperti sebuah kemenangan, "bahwa kebohongan adalah dosa yang bersambung, karena kebohongan harus ditutup pula dengan kebohongan yang lain." Tetapi kemenangan tidak selamanya segumpal dosa dan bukan pula seikat hakikat.
Berbicara soal kemenangan, ada yang lebih sulit dilakukan, yang hanya biasa dilakukan orang Indonesia, "Menang tanpa ada yang merasa dikalahkan." Tanpa menghinakan pihak yang kalah. Menang tanpa bertempur. Damai tanpa berperang. Semoga ini menjadi suatu citra, atau barangkali menjadi keinginan spirituil, agar pujangga-pujangga negeri lain tidak bertanya lagi, "how come?". Fantastic.

Konon, untuk meraih kemenangan, Napoleon menyuruh seluruh prajuritnya menyimpan masing-masing sebatang tongkat komando. Agar siapapun dapat dengan mudah kelak dinobatkan menjadi jenderal. Tetapi hasilnya hanya kematian sia-sia karena nekad. Dari perwira yang luka-luka, tidak seorangpun sampai menjadi jenderal, kecuali dirinya. Napoleon memenangkan perang, justru karena ia dapat mengalahkan prajuritnya sendiri.

Dalam dunia islam, secara klasik dinyatakan tidak ada musuh yang besar, tidak ada suatu kemenangan yang besar, yang ada adalah hawa nafsu yang berakibat buruk yang mesti diperangi, tetapi nafsu yang baik tetap harus dimenangkan. Masih adakah nafsu yang baik? Boleh jadi.

Kadangkala kemenangan besar bisa saja disebabkan oleh olok-olok. Dalam pertempuran sengit di Sisilia sewaktu mengusir penjajah, seorang jenderal dan pemersatu Italia, Giuseppe Garibaldi terkena lemparan batu. Ia pun berseru bahwa pasukan musuh telah kehabisan amunisi.
Laskarnya mendengar itu lantas lebih berani lagi menyerbu, dan pertempuran jarak dekat pun berkecamuk. Musuh akhirnya kalah, Sisilia jatuh. Beberapa bulan kemudian Italia menjadi satu. Karena Garibaldi dan sebutir batu.

Kemenangan bisa juga diakibatkan oleh hal-hal kecil, hal yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya, tetapi bahkan paling menentukan. Misalnya, imajinasi, emosi, bahkan keangkuhan, bahkan kesamaan penderitaan dan bahkan hanya karena keinginan itu sendiri menggebu-gebu untuk menang.

Di dinding ruang kerja seorang dokter hewan di Jalan Lombok, terpampang tulisan besar-besar, bukan untuk dibaca anjing, atau sapi, atau monyet:

In all games, always weigh risks against the results.
People take miracles for granted.
They only remember you by your mistakes

Read More......

Wednesday, June 20, 2007

Shih Huang Ti Sang Perkasa

Anugerah tidak selamanya berarti pahala, bisa juga kutukan, bisa ujian atau mungkin cobaan hidup. Ketika Midas yang raja turun dari Gunung Olympus, ia tersenyum, konon karena ranting yang ia sentuh tiba-tiba menjadi emas. Ia makin gembira ketika pohon, batu, yang ia raba berubah jadi emas. Ia baru saja mendapat anugerah dari Dewa Zeus, dewa mitos orang Yunani. Seluruh pintu dan perabotan istananya menjadi emas, bahkan beberapa menterinya yang tidak luput dari sentuhannya, terbelalak matanya ketika menjadi emas. Akan tetapi ketika ia akan kencing, dan ingin makan karena lapar, barulah ia sadar bahwa anugerah yang ia terima, ternyata sebuah kutukan, karena Midas terkenal sangat tamak akan harta, maka apapun yang disentuh menjadi emas.
Kaisar Shih Huang Ti, sang penakluk, pemersatu seluruh daratan Tiongkok pada kurang lebih 200 tahunan Sebelum Masehi, mempunyai seorang jendral pintar dan gagah perkasa, yang dengan mudah membuat negara kecil sekelilingnya bertekuk lutut.
Kaisar akhirnya iri dan cemburu kepada jendral yang setia dan hampir tidak punya cacat dan kesalahan itu. Suatu waktu jendral itu dikirimi makanan yang lezat-lezat, penuh lemak jenuh seperti babi, jeroan, bebek goreng, yang khusus dimasak di dapur kaisar, sebagai anugerah. Ketika jendral yang konon berpenyakit darah tinggi, kolesterol dan asam urat menumpuk itu menerima hidangan tersebut, ia menangis sedih, “Oh, kaisar sudah tidak senang padaku, ia mengharapkan kematianku”. Setiap hari makanan datang, setiap kali itu pula, karena setia, sang jendral melahapnya sampai ludes. Jendral itu mati karena serangan jantung, karena sedih, berumur tidak lebih dari 33 tahun. Anugerah bisa menipu, bisa juga bikin celaka.

Menurut salah seorang guru sejarah saya, entah ketika SMP atau SMA, suku bangsa pengembara Tuareg (Badwi), yang di Afrika itu, hampir bisa membedakan mana yang pahala dan mana yang petaka. Apabila sesuatu yang buruk terjadi, mereka akan berkata, “Mektoub”, sudah tertulis, memang ditakdirkan begitu. “Kismet” sudah nasib, apa boleh buat. Kita harus menerima kenyataan. Betapa seringnya hidup kita ditentukan nasib.
Konon di antara suku itu belum pernah ditemukan penyakit jantung karena sedih, kecewa, bete, atau karena sakit hati. Mereka biasanya pasrah terhadap hal yang tidak mungkin dihindari atau dielakkan. Mungkin kata-kata Mektoub dan Kismet merupakan obat yang paling mujarab daripada seribu obat penenang.

Walaupun tempatnya berjauhan, di halaman pertama ‘loose leaf’ yang isinya catatan kuliah, Budhi Haruman teman saya menulis, “Ya Allah, berilah saya kekuatan untuk menerima sesuatu yang tidak dapat dirubah, berilah saya keberanian untuk merubah apa yang dapat dirubah, dan berilah saya kebijaksanaan untuk membedakan antara keduanya”.

Bila bulan purnama, anak-anak Tuareg sepertinya biasa melagukan lagu kasidah merdu ini:


“Apabila Allah hendak menghinakan kehidupan seekor rayap,
dimuliakan-Nya rayap itu dengan dua belah sayap,
akhirnya ia terbang mencari api, yang membuat dirinya mati.
Apabila Allah hendak memuliakan kehidupan seekor ulat,
dihinakan-Nya ulat itu menjadi kepompong,
berhari-hari ia terkurung,
akhirnya ia menjadi rama-rama, dengan indahnya terbang kemana suka.”


Ketika pada tahun 300an SM Shih Huang Ti tebaring sekarat, ia berbisik kepada anak-anaknya, “Betul kata Kong Hucu, kita tidak dapat melihat bayangan wajah kita di air yang mengalir, kita hanya dapat melihatnya di air yang diam”.
Dan Shih Huang Ti yang gagah perkasa, memang lantas terdiam untuk selamanya, menyusul jendral-jendralnya.

Read More......

Tuesday, June 19, 2007

Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Ketika perang Vietnam berlangsung dengan dahsyat, tahun 1970, di tengah hutan di propinsi Me Kang Kang, satu peleton pasukan Green Berets dipimpin oleh sersan Money Do-Little membuat kubu pertahanan, dan menetap di sana sebagai patroli pengintai terdepan.
Di ketinggian limapuluh meter dari kubu itu, di atas pohon trembesi yang besar dan rindang, Silaw Dan Trang seorang sniper (baca: penembak jitu) tentara Viet Kong menempati posnya. Siang dan malam hampir tanpa istirahat ia mengarahkan senapan Kalashnikov yang berteleskop, dan menembaki setiap anggota Green Berets yang keluar masuk kubu atau yang kebetulan sedang santai, sehingga sangat merepotkan anak buah Do-Little.
Pleton Do-Little sudah sangat lama bertugas. Untuk mencegah merosotnya moral pasukan, diterbangkanlah peleton pengganti yang masih segar bugar, dipimpin oleh Letnan Price Do-Nothing seorang perwira muda lulusan West Point.
Ketika serah terima sedang berlangsung, melihat banyak tentara Amerika di bawah, seperti biasa Silaw Dan Trang menembakkan senapannya dengan gencar dan peluru panas pun berterbangan mencari sasaran sehingga seluruh pasukan semburat mencari perlindungan, menyelamatkan jiwa masing-masing.
Tembakan balasan dari bawah yang dilakukan oleh anggota peleton baru pun tidak kalah gencarnya, bahkan ngawur karena tembakan itu datang dari para prajurit yang panik dan baru saja terjun ke medan perang.
“Jangan tembak, jangan tembak !! Berlindung, jangan balas serangan, jangan balas, berlindung !!”, teriak Sersan Do-Little. Seluruh anggota peleton Letnan Do-Nothing terkejut dan heran, bertanya-tanya satu sama lain sambil terus menembak ke atas, sekenanya. “Sersan, ini berbahaya, mengapa tidak boleh menembak? Semua pasukanku bisa hancur, bisa habis.”, sergah Do-Nothing berang.
Sersan Do-Little sebagaimana layaknya prajurit berpengalaman, di tengah desingan peluru yang dimuntahkan senapan otomatik Silaw Dan Trang, dengan gemas berkata, “Letnan, sniper itu sudah berbulan-bulan berada di atas sana. Dari bawah jelas kita melihatnya. Setiap saat ia menembaki pasukan saya yang tampak olehnya. Sampai sekarang tidak seorangpun yang terluka. Kalau kita membalas menembak, dengan mudah kita dapat mengenainya. Kalau dia mati, pasukan Viet Kong pasti akan menggantinya dengan sniper lain. Dan kalau penggantinya sniper lain yang lebih pintar, maka matilah kita semua. Oleh karena itu biarkan saja ia tetap di sana.”

Banyak makna yang dapat kita peroleh dari kisah ini. Menghadapi seorang bodoh pun diperlukan kebijaksanaan dan tindakan bijaksana, agar kita tidak sengsara dibuatnya. Kalau kita sudah bertahun-tahun menduduki satu pos, tidak berarti bahwa kita cakap atau mampu, justru mungkin malah sebaliknya. Dibiarkannya kita menduduki pos itu agar tidak mengganggu tatanan yang ada.

Di dunia persilatan dikenal ungkapan: “di atas langit ada langit, dari yang kosong ternyata ada isi, dari yang isi ada kosong, di balik kelemahan lahir kekuatan, di balik kekuatan lahir kelemahan. Hantamkan yang keras kepada yang lunak, dan yang lunak kepada yang keras. Ketika orang lain melihat semua kelemahan dirimu, jangan takut, jangan merasa hina, bahwa sesungguhnya mereka telah buta akan seperti apa kekuatan dirimu sebenarnya.”, sabda Asmaraman S. Kho Ping Hoo.

Pendekar Kam Hong, Si Suling Emas yang terkenal itu, di hadapan musuhnya selalu merendah, “Maafkan saya yang hina telah buta, tidak melihat gunung Thay Shan yang tinggi telah berdiri di depan mata.”.

Read More......

Gila

Ada tiga orang gila dirawat dalam satu barak, yang pertama suka bertingkah, yang kedua suka memberi nasihat, dan yang ketiga merasa ia bukan dirinya.

Ketika yang pertama berteriak-teriak dan melompat-lompat, yang kedua berkata: “Hus jangan ribut, nanti Tuhan marah !”. Yang ketiga, merasa dirinya yang disebut, ia menyahut: “Ah tidak apa-apa, wong aku tidak marah kok.”

Sering kita bertindak seperti orang-orang gila itu. Sering ketiga kegilaan itu sekaligus menimpa diri kita. Kita bertidak melampaui batas dan tidak pada tempatnya. Kita merasa paling mengerti, senang melarang dan memberi nasehat kepada yang lain. Dengan yang kita miliki, dengan usaha, dengan ilmu yang kita peroleh, kita menjadi merasa sempurna, kita berbuat sekan Tuhan.

Bahkan dengan melakukan yang sedikit, kita sudah merasa paling hebat. Kita pun maklum semua orang gila tidak akan pernah membahas, apalagi menceritakan kegilaannya sendiri.

Sering kegilaan bisa timbul karena perasaan pesimis yang berlebih-lebihan. Karena pandangan yang tidak bisa memahami besarnya hikmah alam raya ini. Karena pandangan bahwa Tuhan seakan-akan telah menciptakan alam raya ini dengan bathil, tidak sempurna. Karena pandangan seperti ini pula yang menyebabkan kesulitan hidup manusia di dunia, dan pada gilirannya makin bertambah kesengsaraannya di akhirat.

Budhie Haruman, teman SMA dan kuliah saya, memberikan definisi bahwa beda antara orang gila dan yang tidak gila hanyalah terletak pada bagaimana dia menghargai dan menggunakan waktunya. Sedang kadar kegilaannya bisa diukur dari untung ruginya bagi orang lain Kalau waktu yang dia gunakan terus menerus hanya untuk satu hal maka dia gila, dan kalau waktu yang dia gunakan kadang-kadang, itu berarti dia waras.

Contohnya ialah: jika ia tertawa terus menerus itu namanya orang gila, jika ia menangis terus menerus tanpa berhenti itu namanya gila, jika kerjanya kawin terus, gila kawin. Jika cari harta terus menerus, gila harta. Kerja terus menerus, gila kerja. Dandan terus menerus, gila dandan. Marah terus, mengamuk terus, malas terus, namanya gila dan tidak perlu pakai sebutan lagi seperti gila marah, gila ngamuk, gila malas, tapi cukup gila saja. Silahkan cari contoh gila-gila lainnya.

Sering kegilaan berasal dari kebiasaan terlalu berat sebelah memikirkan diri sendiri. Dengan memikirkan orang lain, ringan terasa kesedihan kita. Dengan mengingat penderitaan orang lain, penderitaan kita hampir tidak ada artinya. Kadang kita merasa sangat sedih dan menderita karena kita belum mampu membeli sepatu baru, padahal di sekeliling kita banyak orang yang kehilangan kaki, justru bisa bergembira dan tertawa.

Hanya memikirkan diri sendiri, "yang penting asik aja buat gue", - istilah anak-anak muda sekarang- bertentangan dengan Sunatullah. Kita tahu bahwa keridhaan Allah banyak tergantung kepada keridhaan orang lain di sekeliling kita, contohnya nyata, seperti diajarkan bahwa keridhaan Allah bergantung kepada kedua orang tua.

Dengan mengingat orang lain, dengan menyambung tali kasih atas penderitaan orang lain, kita akan merasa berkecukupan. Kita sering merasa kaya, seandainya kita menganggap bahwa tetangga kita tidak memiliki sesuatu melebihi dari milik kita.

Inti silaturrahim, ukhuwah, adalah sebisa-bisanya meringankan beban orang lain dan membuat wajah orang lain lebih berseri-seri, bahkan Nabi Isa a.s. juga pernah berkata: “Senangkan dirimu dengan cara menyenangkan hati orang lain” Dan itu namanya rakhmi atau kasih.

Mungkin pada saat tertentu, dalam situasi tertentu, kekuasaan manusia menjadi sulit diukur, tetapi mustahil jika kemampuan-kemampuan mereka pada suatu ketika menjadi tidak terbatas.

Kebaikan dari dalam hati, agaknya memang membuat wajah kita selamanya lebih berseri-seri, sekalipun kita enggan menghitung, kemampuan dan kekuatan yang sudah kita miliki. Wallahu’alambishawab.

Read More......

Liverpool Football Club

Di tengah perang Badar yang dahsyat, suatu malam Rasulullah memeriksa laskar yang terluka. Seorang pemuda mengerang kesakitan dan sebatang anak panah masih menancap di perutnya. Rasulullah bersabda, "Siapa pemuda ini, demi Allah aku melihat ia akan menjadi penghuni neraka."

Umar bin Khattab menyela,"Ya Rasulullah, pemuda ini telah berjuang dengan gagah. Ia berada di garis paling depan, tidak pernah mundur setapak pun. Ia alim dan patuh kepada kedua orang tuanya. Ia syuhada. Bagaimana ia bisa menjadi ahli neraka?"

Di waktu subuh pemuda itu meninggal dunia. Umar bin Khattab memeriksa mayatnya. Terlihat bahwa anak panah yang menancap di perutnya tadi malam, kini bahkan tembus keluar di punggungnya. Rupanya ia telah meninggal karena tidak dapat lagi menahan sakit. Ia telah menekan anak panah itu lebih dalam lagi, untuk mengakhiri penderitaannya. Ia telah bunuih diri. Ia telah berputus asa. Betul sabda Nabi. Dan hukuman bagi orang yang berputus asa hanyalah neraka jahannam, di waktu hidup dan sesudah mati.
Pemuda itu telah mempercepat kematiannya. Ia tidak memiliki pengharapan sedikitpun. Ia tidak mau menunggu dengan tabah, apa yang akan diperbuat selanjutnya oleh hidup ini. Ia tidak mau menunggu walaupun hanya untuk beberapa jam saja dan membuang kesempatan untuk masuk sorga sebagai syuhada. Dan ini bukan kisah, tapi benar-benar terjadi, diriwayatkan dalam hadits Bukhari Muslim.
Pada tahun limapuluhan dalam film Carousel yang dibintangi Shirley Jones, Pat Boone lantunan suaranya yang digemari sekali oleh ayah saya, berpantun sebagai berikut:

- Kalau kamu berjalan dalam topan, jangan kamu putus harapan.
- Sebab di balik topan pasti ada langit keemasan.
- Dan kamu tidak jalan sendirian.
- Yang penting teruslah hidup,
- agar kamu dapat melihat kejadian selanjutnya dalam hidup.
Di Family Ties, film yang pernah diputar RCTI dan kembali ditayangkan di TPI, seorang gadis berkata pada ibunya,

"Betapa pun buruknya hari ini, pasti ada hari esok. Betapa pun buruknya nasib kita, pasti masih ada secercah harapan (asal kita beriman dan berbuat baik)."
Allah berfirman:"wa laa tahiinu wa laa tahzanuu wa antumul a'launaa in kuntum mukminiin - jangan kamu bersedih, jangan kamu berputus asa, sesunggunya derajatmu akan ditinggikan, asal kamu benar-benar beriman" (QS 3: 139).
Belakangan ayat ini menginspirasi DR.Aidh al-Qarni menerbitkan buku yang hampir 2 tahun lalu sempat menjadi best-seller di Mesir tempat asalnya sana maupun di Indonesia, Laa Tahzan, judul buku itu. Saya hampir yakin kebanyakan anda telah menyimpannya dalam rak buku anda.
Karena sifat manusialah selalu dirundung khawatir, dirundung cemas. Kita pun maklum, Piramida Maslow memasukan elemen security, atau rasa nyaman yang berasal dari rasa aman itu sebagai salah satu kebutuhan dasar hidup manusia.
Andaikata Tuan Noboru Hirajima dan kawan-kawannya berputus asa ketika kapalnya tenggelam di perairan Irian, andaikata mereka tidak punya harapan untuk bertahan lebih lama di atas sepotong papan, bahwa mungkin ada kapal lain yang akan menolong mereka, kita tidak akan sempat mendengar kisah mereka. Yang membuat mereka tetap hidup, bukan pelampung atau tubuh yang sehat, tetapi harapan untuk tetap hidup.
Karena adanya harapan itulah maka Allah berkenan untuk menolong dengan kapal Tug Boat dari Australia. Andaikata Tuan Noboru Hirajima dan kawan-kawanya, ketika di tengah laut merasakan hempasan ombak yang menggelora, hujan deras, malam gelap gulita, lantas berputus asa, tidak mempunyai harapan lagi, dan melepaskan tangannya dari tepi papan atau botol-botol gas LPG, maka mereka hanya akan menjadi santapan ikan hiu, atau kalaupun mujur, paling-paling hanya bisa menjadi bunga karang.

Siapa insan sepakbola yang tidak diaduk-aduk emosinya oleh drama final kejuaraan Eropa antar klub tahun 2005 yang lalu? Apabila Steven Gerrard dan teman-temannya berfikir bahwa pertandingan final telah berakhir ketika babak pertama usai, berhenti bertanding dan menyerah digunduli AC Milan 3-0, mungkin piala kejuaraan itu sekarang tidak berada di salah satu lemari kebanggaan klub sepakbola itu di kota Liverpool. Dan mungkin juga, bisa jadi, tidak akan pernah bisa ada di sana selama-lamanya.
Final pun berlalu, kondisi Liga Sepakbola Indonesia tidak banyak berubah, begitu juga nasib Timnas kita. Liverpool akhirnya berjaya lewat adu penalti, setelah skor imbang 3-3. Semua diraih oleh harapan dan perjuangan yang tidak kunjung padam, sebelum peluit tanda pertandingan usai ditiup wasit.
Bukan itu saja, bahkan Socrates pernah berkata:"Harapan adalah rotinya orang miskin". Karena itu sudah sepantasnya jika kita selalu berharap dan memberikan harapan-harapan kepada orang-orang yang belum mampu memilikinya dengan cara menghidupkan harapan-harapan mereka.

Read More......