Wednesday, May 21, 2008

Setan

devil1.gif

Konon di bulan Ramadhan makhluk yang paling dibebaskan dari segala tugasnya adalah setan. Bebas dari tugas menggoda manusia. Menyeru dan mengajak kepada kesesatan. Entah dia harus berbahagia atau bersedih akan fakta ini, saya tidak tahu. Yang jelas dalam persepsi manusia, setan setidaknya memiliki satu bulan masa cuti tiap tahunnya, mau diambil atau tidak - hanya setan yang mengerti bagaimana memanfaatkan fasilitas ini.


Ainun Nadjib pernah menulis, bahwa ada desas-desus setan sekarang sepakat untuk tidak menggoda manusia lagi, karena sudah capek menjadi kambing hitam di dunia. Setiap ada orang yang celaka, sekarang paling gampang bilang, “Ah, ini godaan setan.” Setiap ada orang berbuat jahat atau maksiat, kalau kepepet lantas tobat,”Ya Allah, ini godaan setan ya Allah. Pak saya digoda setan, Pak.” Maka untuk itulah setan berujar,”Biarlah aku tidak berbuat apa-apa untuk sementara, agar kadar dosa manusia menjadi dosa yang murni, dosa manusia sendiri, tanpa bantuanku, tanpa buatanku.” Begitu kira-kira kata setan.

Memang dewasa ini kerap kali tugas setan memang semakin mudah. Mudah, karena sudah banyak orang yang alergi kepada iman, tanpa harus diajak setan, tanpa proses digoda setan. Padahal kita sendiri maklum bahwa setan adalah makhluk Allah yang juga beriman dan mengakui kebesaran Allah. Kalau setan saja masih beriman, lantas apa nasibnya dan apa namanya kategori manusia yang menanggalkan keimanannya? Naudzubillah..

Sekarang adalah jamannya manusia menggoda manusia, televisi menggoda manusia, pornografi menggoda manusia, harta, jabatan, wanita, pria dan lain sebagainya telah dengan istiqamah mengganti dan meringankan tugas setan. Adakah yang pernah menghitung angka pengangguran setan akibat beberapa dari mereka kini telah sedikit demi sedikit kehilangan pekerjaannya? Keahlian manusia telah semakin canggih bahkan mengalahkan kepiawaian setan itu sendiri dalam menyeru kepada kesesatan.

Siapa bilang bisikan setan tidak hadir ketika kita beribadah? Dalam shalat setan hadir dalam wujud perasaan ingin dipuji oleh orang lain. Dalam perasaan bahwa kita adalah manusia yang paling giat beribadah sehingga mengecilkan kehadiran manusia lainnya. Sehingga kita lalai akan esensi kekhusyuan shalat itu sendiri. Lebih jauh kita merasa telah menjadi sesorang yang paling benar. Dalam bersedekah dan berzakat, prosesnya kurang lebih sama.

Ada pandangan - untuk menilai shalat seseorang khusyu atau tidak, lihatlah bagaimana orang itu berperilaku di antara dua waktu shalatnya. Belakangan, inilah yang kita maksud bahwa seseorang telah mendirikan shalat atau belum. Khusyu dalam shalat, yang banyak kalangan menilai konsentrasi dalam shalat sehingga lupa terhadap apa yang ada disekelilingnya, rupanya telah menyalahi fitrah, sunatullah. Bahwa telinga yang normal tetap dapat mendengar suara-suara yang terjangkau di dekat kita, mata yang normal tetap dapat melihat hingga disudut kelopak mata kita, pikiran yang normal tetap potensial untuk berkelana memikirkan beban pikiran yang menghimpit, bahkan dalam shalat sekalipun.

Maka kata-kata sabar dan bersyukur menjadi ciri orang-orang yang beriman. Sabar ketika dirundung ujian, bersyukur ketika dihampiri kenikmatan. Sama seperti setan yang sabar selama sepanjang masa menggoda manusia. Saya tidak tahu apakah setan mengenal arti bersyukur pula.

Setan juga kerap kali menjadi kambing hitam atas kehadiran kita di dunia ini. Tidak sedikit dari kita yang berpikir kurang lebih begini,”kalau saja tidak ada setan, manusia termasuk kita saat ini tentulah masih menikmati nikmatnya keindahan surga.” Kembali akhirnya untuk kesekian kali kita bersuudzan pada setan. Pada akhirnya kita lupa, bahwa digoda atau tidak digoda oleh setan, Adam As. tetap akan Allah utus ke bumi, ke dunia fana ini. Sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, sebagai khalifah di muka bumi ini. Memang pada akhirnya manusia pulalah yang gandrung akan segala keluh kesah. Mencari kambing hitam ke sana dan ke sini.

Pada akhirnya kita semua mungkin maklum atas taubat Nabi Adam As. kepada Allah adalah lebih kepada wujud penyesalan manusia yang pada hakikatnya memiliki juga kecenderungan untuk mendzalimi diri sendiri melalui dosa-dosa yang kerap kali kita perbuat. Dosa-dosa yang kita rasakan maupun yang kita tidak sadari karena sekedar meremehkan arti dosa itu sendiri. Nabi Adam bukan menyesal karena Ia diutus ke muka bumi ini.

Dosa pertama telah tercipta. Entah untuk mengingat saat bersejarah itu, ataupun sebagai bentuk penyesalan yang mendalam atas segala kelemahan kita tanpa bimbingan-Nya, milyaran umat manusia secara diam-diam dalam waktu sendirinya akhirnya tak kuasa membendung tetesan air mata ketika berhadapan dengan keagungan Allah SWT, seraya layaknya Nabi Adam pada waktu itu, ia berucap:

Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa illam taghfirlanaa watarhamnaa lanakunanna minal khaasiriin - Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi…” (QS 7:23)

Read More......