Sunday, November 28, 2004

Prisoners in Paradise


Jean de La Fontaine, gemar bercerita, ia seorang bijak dan humoris ulung, yang hidup di Prancis dari tahun 1621 hingga 1695 (Kalau tidak salah). Dengan kerendahan hati ia berumpama melalui percandaan binatang-binatang, hanya karena segan bila langsung menunjuk sifat tidak sempurna umumnya manusia. Beberapa ceritanya kita ingat seperti pernah mendengarnya dari orang tua kita, ketika kanak-kanak.

Konon, kambing, domba dan babi, yang bersama dalam satu pedati, tiba di pasar. Mereka datang tidak untuk menonton atau pesiar, tetapi untuk dijual dan disembelih dalam rancangan skenario dagang seorang saudagar.

Babi itu menjerit-jerit, seakan hendak memekakkan telinga orang, Domba dan kambing yang lebih lunak, heran mendengar kawannya berteriak, karena tabiatnya yang suka damai mereka tidak merasakan bahaya dekat mengancam. “Hai babi, mengapa engkau ribut amat? Coba lihat domba dan kambing yang pendiam, belajarlah sopan sedikit dari mereka! Adakah kau dengar suara tidak sepatutnya dari moncong mereka? Mereka bijaksana”, kata saudagar.

“Mereka binatang gila dan bodoh.” sahut babi, “Kalau mereka sedikit saja mengetahui persoalannya, mereka pasti akan meratap keras-keras atau mengembik-embik pedih dan pilu. Mereka sangka orang membawanya kemari hanya untuk susu kambing atau bulu domba. Kalau demikian masih mending ada harapan, sedangkan untuk saya ini, aduh, cuma daging yang berguna.” Babi melanjutkan, “Lantas adakah harapanku, selain minta diri dari dunia yang fana ini?”

Sang babi bertutur lagaknya seorang pakar yang bijaksana. Tetapi adakah manfaatnya? Sebab, jika kemalangan sudah tidak terelakkan, ketakutan dan keluh kesah tidak akan pernah dapat sedikit pun menolong. Dan agaknya yang paling sedikit melihat kejauhan, merekalah yang bahkan lebih bijaksana, seperti sabda Rasulullah, “Kebanyakan penghuni sorga adalah orang-orang yang berakal yang berfikiran sederhana.” Agaknya diperlukan keseimbangan, antara keharuan dan tindakan yang lebih bijaksana.

Seekor bangau berjalan-jalan tidak tentu tujuan, di sepanjang sungai ia berkelana, ikan-ikan kecil sedang bermain-main di sana, bagi bangau mudah memancingnya karena mereka dekat ke tepian. Tetapi ia menahan lapar sambil mengharap barangkali ikan yang lebih besar akan muncul.

Sedang liurnya keluar, di dekatnya ikan-ikan kecil berlompatan timbul kepermukaan air, dengan sikapnya yang tak acuh bangau bergumam, “Makhluk begini siapa yang butuh, ia tidak pernah dimakan orang, dan aku bukan sembarang binatang.” Komentar bangau terhadap ikan-ikan kecil itu disambungnya dengan komentar terhadap belut, “Cucu ularkah ini? Aku takut ususku kalut apabila kutelan makhluk hitam ini.” Demikianlah ia, sampai malam larut tidak menjumpai lagi pengisi perut. Lalu konon, sesudah ususnya berbunyi keroncongan baru terpaksa dibuangnya kesombongan, dengan menelan hanya seekor siput.

Sudah sepatutnya bila kita belajar untuk puas dengan sesuatu yang telah tersedia, meskipun kurang dari cukup. Bila hasrat dan keinginan kita atas sesuatu terlalu kuat, maka keberuntungan akan jarang mendekat. Dan sudah sepatutnya pula bila kita tidak terlalu keras mencela terhadap sesuatu yang telah tersedia, terutama bila ternyata kebutuhan kita tidak jauh berbeda dengan yang ada.

Bukan kepada bangau, kepada kita pun banyak nasehat baik soal makan memakan, “Apabila kita sekarang gemar menyantap makanan yang lezat dan manis-manis, maka tunggulah saatnya kelak, kita akan bersedih hati karena harus selalu meminum obat yang pahit-pahit”, begitulah kira-kira bunyi kasidah tabib Arab.

Joey Tempest, vokalis, sekaligus pentolan group rock Europe, bukan pujangga, namun cukup bijak untuk memberi nasehat pada kita dalam salah satu syair lagunya:


“…sometimes what you want aint what you need.
…aint it hard to find illusions when you’re livin in the memories.”

Just like prisoners in paradise
So close but yet so far
There will come a time no matter who you are
When you ask yourself was it right or wrong, for me to turn away, but hey
We're just children of tomorrow hangin' on to yesterday

Prisoners in paradise,
Still far from heaven's door
We had it all but still we wanted more
Now I realize that I can't turn back, the future's here to stay, but hey
We're just children of tomorrow hangin' on to yesterday

Read More......

Ada dan Tiada


Di sebuah Sekolah Dasar di suatu negara yang menganut sistem pendidikan liberal-modernis (baca: kemerdekaan berpersepsi), seorang guru berkata kepada anak-anak murid kelas enam, “Apakah kalian melihat diri saya?”
Mereka menjawab, “ya.”
“Dengan begitu, berarti saya ada,” kata sang guru.
“Apakah kalian melihat papan tulis?” tanyanya lebih lanjut.
“Ya.”


“Jika demikian, papan tulis itu ada.” kata sang guru.
“Apakah kalian melihat meja itu?” tanyanya lebih lanjut.
“Ya.”
“Berarti meja itu ada,” kata sang guru.

“Apakah kalian melihat Tuhan?” tanyanya lagi.
“Tidak.”
“Itu berarti Tuhan tidak ada,” guru itu berhenti sampai di sini.

Selanjutnya, seorang murid yang cerdas berdiri dan bertanya,
“Apakah kalian melihat akal guru kita?”
Mereka menjawab, “tidak.”
“Dengan demikian, akal guru kita tidak ada!” lanjut anak itu sambil duduk kembali dengan manisnya.

Read More......

Agus Salim

Agus Salim adalah diplomat ulung yang pernah dimiliki suatu bangsa. Beliau fasih beberapa bahasa asing dan pandai berpidato, belajar sendiri tanpa guru, sering memakai sarung dan peci, berkumis dan berjanggut. Konon dalam suatu pertemuan dengan Belanda, ketika beliau naik ke atas podium, sebagian hadirin dengan riuhnya mengembik-embik, tanda tidak senang. Dengan tenang beliau membuka pidatonya : “Hadirin sekalian, barangsiapa di antara hadirin merasa dirinya seekor kambing, kami persilahkan keluar ruangan, karena pertemuan ini hanya disediakan untuk manusia, bukan untuk kambing-kambing”. Maka jadi malulah antek kolonial yang mengembik-embik.
Konon pula kabarnya ketika beliau makan malam dengan jamuan resmi dengan ratu Inggris, seorang diplomat setengah menghina bertanya: “Saya dengar kebanyakan bangsa Tuan kalau makan masih menggunakan jari tangan, kedengarannya kotor sekali, bukan seperti sendok-garpu orang Eropa atau sumpit orang Cina. Dan manakah yang paling bersih di antara ketiganya?”. Seraya melihat sekeliling, Agus Salim menjawab : “Tuan betul. Sendok-garpu memang bersih, apalagi jika dibuat dari perak. Sebelum dipakai terlebih dahulu dicuci oleh pelayan. Sumpit bersih dan amat praktis, sekali pakai bisa dibuang, bisa juga dicuci untuk dipakai lagi”.
Setelah batuk sedikit beliau melanjutkan: “Tetapi yakinkah Tuan bahwa sendok yang Tuan pakai itu benar-benar suci? Karena waktu mencucinya Tuan tidak melihatnya, bagaimana mencucinya dan air apa yang dipakai, atau kalau sebelumnya diludahi atau dikencingi pelayan pun Tuan tidak akan tahu. Sumpit begitu juga, Tuan tidak akan tahu kayu atau bambu yang dipakai ternyata beratus tahun tumbuh di atas bangkai, pupuknya tahi sapi. Tuan tidak akan tahu kalau garpu atau sumpit itu sebelum dicuci sudah dipakai oleh pelayan Tuan untuk menggaruk punggung, mengaduk comberan, membunuh coro atau menindas ketombe. Kalau sang pelayan sedang marah, semua yang buruk-buruk bisa terjadi terhadap peralatan makan Tuan, tanpa kelihatan”.
Yang hadir sudah merah padam mukanya. Tapi Agus Salim tetap melanjutkan : “Dan siapakah yang dapat meragukan kesucian dan kebersihan jari tangan kita sendiri? Kita paling tahu apa yang kita pegang, sebelum kita makan. Kita paling tahu kalau jari tangan kita sudah dipergunakan untuk mencolek lubang hidung, lubang telinga, lubang pantat atau mencolek lubang-lubang lainnya”.
Bukan soal, apakah kita mau pakai sumpit, sendok atau dengkul, silahkan pilih sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kearifan yang bisa kita simak ialah kita diajarkan untuk selalu mengenal diri sendiri. Socrates dalam setiap kesempatan berkata: “Nosce te ipsum – kenalilah dirimu sendiri.” Al-Hallaj, Syeh Siti Jenar, dan beberapa sufi Islam berpendapat bahwa jalan untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri. Logis, untuk mengenal Sang Pencipta, kenalilah ciptaannya, kecuali diantara kita ada yang merasa bukan ciptaan siapa-siapa. Mengenal diri sendiri sangat luas maknanya. Sun Tzu yang ahli perang juga berkata: “Barang siapa mengenal diri sendiri dan mengenal diri musuh, maka ia sudah memenangkan separuh peperangan. Yang seperempatnya adalah mengenal medan. Seperempatnya lagi silahkan cari.

Mengenang Agus Salim, saya teringat kakek saya yang selalu menghardik dengan pepatah Belanda, agar berpakaian lebih rapi. “De kleren maken de man – pakaian membentuk seseorang”. Dan kalau kita merenggut, ditambahnya lagi: “Geleende kleren doen niemand eer – pakaian pinjaman tidak membawa kehormatan”. Jadi kenalilah diri kita sendiri, kenali diri kita yang sebenarnya seonggok barang pinjaman, yang pada saatnya pasti akan diminta kembali.

Read More......

Monday, November 15, 2004

Kiat


Pada suatu hari di musim dingin yang berkabut, di pinggiran kota Tokyo, dengan kaki terpincang-pincang, seorang laki-laki yang kelihatan sangat tua dan kotor, bahkan sangat miskin memasuki sebuah toko makanan yang mewah, yang baru saja dibuka hanya untuk membeli sepotong roti sarapannya karena sejak kemarin sore, perutnya tidak kemasukan makanan sedikitpun.


Dengan menggenggam beberapa uang receh yang sudah kusam orang tua tersebut dengan tertatih-tatih menunjuk sepotong roti yang paling murah dan paling kecil di lemari kaca.

Namun ia tidak segera dilayani. Bahkan para pegawai dan pelayan yang masih muda dan cantik serta bersih lagi wangi itu, saling berpandangan, tersenyum-senyum penuh arti karena kedatangan tamu pertama pagi itu mereka anggap telah merusak suasana harmoni di toko itu.

Beberapa pelayan diam-diam menuduhnya sebagai pengemis yang tidak tahu diri, karena lain dari biasanya pembeli di toko itu adalah para eksekutif yang berkantong tebal, berpakaian indah-indah, bermobil dan membeli makanan dalam jumlah berlimpah-limpah.

Melihat dan merasakan suasana yang tidak mengenakkan dari balik kaca ruang kerjanya yang temaram, si pemilik toko segera keluar menemui si orang tua, mengambilkan roti yang ditunjuknya, membungkusnya dan menyerahkannya, bahkan menghitung uang kembaliannya. Dan seperti lazimnya orang Jepang dengan terbungkuk penuh hormat mengucapkan terima kasih dan meminta maaf dengan tulus atas perlakuan para karyawannya yang tidak segera melayaninya.

Semua sudah berlalu, si orang tua cepat-cepat keluar dari toko. Tapi suasana tegang masih menyelimuti ruangan itu. Tiba-tiba seorang pegawai senior yang sudah lama bekerja di toko itu bertanya kepada si pemilik toko: “Sudah sepuluh tahun saya bekerja di sini. Dan selama itu Tuan tidak pernah saya lihat melayani sendiri para pembeli, bahkan langganan kaya yang membeli setiap hari dalam jumlah besar pun tidak pernah Tuan layani. Tetapi mengapa terhadap pembeli tadi Tuan telah bersusah payah melayaninya, sedangkan kami sendiri pun enggan melayaninya?”

Si pemilik toko dengan sungguh-sungguh menjawab: “ Tahukah kamu bahwa dialah sebenarnya pembeli yang paling terhormat. Dialah pembeli yang sebenarnya pembeli. Karena untuk sampai kemari dengan berjalan kaki, dia harus bangun lebih cepat dari biasanya. Karena untuk dilayani lebih awal agar tidak mengganggu pembeli yang lain, dan malu karena dia tahu bahwa uangnya hanya cukup untuk membeli sepotong roti yang paling kecil. Dia sudah lama kedinginan menunggu di luar sebelum toko ini dibuka, sebelum pembeli yang lain berdatangan. Karena miskinnya dia harus menabung beberapa hari agar dapat membeli roti itu, sementara orang lain cukup dengan selembar ‘credit card’. Saya yakin, sesampai di rumahnya dia akan memakan roti itu dengan lahap, dengan nikmat, karena hanya itulah persediaan yang dia miliki dan dia idamkan. Sedangkan yang lain datang membeli hanya karena toko kita sudah terkenal dan menjanjikan gengsi”.

Akhirnya semua tersadar, tapi sudah terlambat. Memang yang datangnya paling akhir di muka bumi ini hanyalah rasa sesal, diawali kesadaran, kalau ada. Sedihnya karena sesal datang dari prasangka baik atau buruk. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”. (QS.2:216)

Read More......

Dubur

Ada seminar. Mata, Limpa, Jantung, Ginjal, Kaki, semua berkumpul untuk mendiskusikan peran setiap bagian tubuh. Tulang punggung yang lazim disebut, tidak ikut. Kalau mau jujur memang ia tidak seharusnya selalu diandalkan. Mata berkata: “Tanpa saya hidup tidak ada artinya. Tanpa saya manusia tidak dapat melihat hijaunya hijau, terangnya bulan, dan cantiknya panorama”.
Jantung pun angkat bicara: “Tanpa saya kehidupan itu sendiri tidak akan pernah ada”. Semua terdiam. Mana ada yang berani menggugat kemustahakan jantung. Peserta seminar keasyikan mendengarkan pembicara yang lain. Tiba-tiba dubur berdiri, mengacungkan telunjuknya, dan berkata: “Jadi kalau begitu saya ini tidak ada gunanya”. Semua lalu tertawa. Mentertawakan dubur yang dianggap mereka sangat tidak tahu diri.


Karena kesal, Dubur lalu mogok kerja. Mampet total. Setelah tiga hari, mata berkunang-kunang. Jantung berdebar-debar. Otak buntu dan Usus melilit-lilit. Hati –pabrik kimia tubuh- kalang kabut karena sistemnya menjadi kacau. Pada hari ke-empat, mereka terpaksa mengadakan seminar lagi memberi pengakuan terhadap peranan Dubur dalam bangunan organisasi yang bernama manusia. Semua merasa ngeri. Takut Dubur benar-benar mogok total. Dubur senang menerima pengakuan itu, lantas bekerja kembali dan semuanya berjalan lancar.

Kita ini apalah artinya. Mungkin hanya sebuah jaringan Dubur dalam perusahaan atau organisasi. Hanya sekrup kecil dalam mesin yang besar. Ungkapan ini sering kita dengar dari mulut orang yang merasa dirinya tidak berguna. Rasa nobodyness yang jelas-jelas mengganggu motivasi bertindak. Pernah kejadian di sebuah percetakan ada sekrup kecil yang tidak diakui fungsinya terpelanting dan masuk di antara rol bantalan cetak. Sekrup baja itu langsung menghancurkan alat yang paling vital. Mesin cetak itu terpaksa macet sebulan karena bantalan yang baru harus didatangkan dari Jerman. Sebuah sistem akan berjalan lancar jika semua sekrup berfungsi dengan baik.

Pak Ukar adalah contoh sekrup kecil yang tidak terkenal. Setiap pagi ia membersihkan kantor, merapikan meja-meja kerja, membuang puntung rokok, dan mengumpulkan kembali kertas-kertas yang sudah dibuang, karena ia fikir bahwa semua kertas asal berada di kantor, pasti kertas itu dokumen maha penting.

Ia tidak punya pretensi apa-apa. Ia menyadari fitrahnya sebagai karyawan yang juga dimanfaatkan sebagai tukang sapu. Ia bukan orang yang berkata: “Sekarang tukang sapu, besok manager – yang lantas ngambek dan ikut main golf (golongan frustasi) – lantaran besok ternyata ia tidak menjadi manager. Jika ia tidak masuk satu hari saja maka kacaulah sistem kerja di kantor. Ia tidak punya ambisi dan mudah diatur. Bagi perusahaan yang sedang tumbuh orang tanpa ambisi menjadi beban, karena sulit diajak ikut tumbuh. Tetapi Pak Ukar mempunyai semangat kerja yang lahap.

Kelahapan semangat dapat diciptakan. Di Jepang misalnya orang menumbuhkannya dengan semangat ‘ba’. Dengan semangat ba seseorang dibuat bangga dengan tempatnya bekerja, bukan dengan jabatannya. Seorang sopir NHK memakai jas biru yang sama dengan kameraman dan jas direkturnya, lengkap dengan sulaman lambang NHK di dada. Ia memang sadar bahwa ia seorang sopir – tapi sopir yang punya kontribusi yang diakui dalam sistem penyiaran informasi NHK ke seluruh dunia. Bagaimana dengan pakaian kerja di sini? Biasanya untuk kepala bagian ke atas, seperti iklan pabrik rokok: ‘kami memang beda’. Kita seperti jarang mengenal dubur, sekrup, atau ‘ba’, yang kita kenal setiap hari hanyalah senda gembira: ‘ciluuuk-baa’.

Read More......

George Bernard Shaw


Dusta, sebagaimana halnya cinta, adalah perkakas umum, tidak manusiawi, tetapi duniawi, perkakas yang universal. Dusta di mana-mana sudah menjadi semacam ‘social practice’ belum lagi dengan alasan ‘pragmatic’.


Di pedesaan Madura, cinta sering diutarakan sejujurnya, unik kedengarannya dalam kidungan: “Aku cinta kepadamu karena engkau tidak takut berjalan sendirian di malam-malam. Aku cinta kepadamu karena engkau tidak dusta membalas cintaku diam-diam”. Tidak seperti lagu cinta sejuta, yang mendayu sejuta cinta, yang hampir tidak masuk akal. Cinta memang tidak harus masuk akal, dan memang tidak perlu akal, kecuali barangkali seringkali terjadi cinta akal-akalan. Cinta tidak perlu latihan, sedang dusta memerlukannya, begitu juga pengalaman.

“Pengalaman adalah sebuah nama indah, yang acapkali diberikan kepada semua kesalahan, yang telah diperbuat oleh seseorang”, kata George Bernard Shaw. Kita berdusta karena merasa salah, jarang karena merasa benar. Ada juga dusta yang benar, tidak benar-benar dusta, tetapi tetap dianggap bersalah. Pengalaman tidak pernah dusta.

Ketika Islam merata di Jazirah Arab, tidak ada keaiban yang dapat meruntuhkan kehormatan seseorang kecuali dusta. Jika seorang muslim menjentikkan jari telunjuk dan jempol tangan, memanggil anak unta supaya mendekat, dan ada muslim lain yang melihat, orang itu sudah dianggap dusta. Ia penipu, karena ia memanggil anak unta hanya dengan bunyi dan lambaian tangan. Mengapa tidak menggunakan rumput segar, umpan kesukaan unta? Jangan coba-coba menyuruh anak babi masuk kandang dengan menariknya, ia akan mogok, bahkan mundur. Tapi jika kita mendorong kepalanya kuat-kuat lantas tiba-tiba melepaskannya, ia akan nyelonong sendiri masuk kandang. Memanggil agar mendekat, menghimbau, tidak cukup dengan kata-kata atau bunyi-bunyian, menghimbau adalah perbuatan nyata, sebaiknya berusaha dengan suatu cara, dan menyisakan sedikit “kesukaan-kesukaan” orang yang dihimbau.

Karena dusta, cinta dan benci hanya perkakas, ahlus-sunnah meriwayatkan, Rasulullah perna berkata: “ Jika engkau mencintai seseorang yang memang seharusnya engkau cintai, maka cintailah dia dengan sebaik-baiknya, karena siapa tahu kelak engkau dan dia akan berbalik menjadi saling membenci. Jika engkau membenci seseorang yang memang seharusanya engkau benci, maka bencilah dia dengan sebaik-baiknya, karena siapa tahu kelak engkau dan dia akan menjadi saling mencintai”. Agaknya kita diminta agar tidak berlebihan menggunakan perkakas, agar tidak aus, tidak diri kita yang tertelan perkakas.

Albert Einstein dan Bernard Shaw, mempunyai sosok dan wajah yang jauh dari gagah, tetapi dikarunia otak yang cemerlang. Ketika Bernard Shaw dijamu makan malam di kalangan para bangsawan Inggris yang rata-rata pesolek, seorang nyonya yang amat rupawan berseloroh tentang keburukan wajah Bernard Shaw: “Tuan Shaw, umpama kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan yang serasi. Anak-anak yang lahir akan mewarisi keunggulan kita berdua: mereka akan pintar seperti Tuan, dan cantik rupawan seperti saya”. Dengan tersipu Bernard Shaw menjawab: “ Betul juga kata Nyonya, tetapi bagaimana jika Allah justru menghendaki sebaliknya: anak itu buruk seperti saya, dan berotak bodoh seperti Nyonya”.

Kitapun sering bimbang, siapakah sebenarnya yang berkata, Albert Einstein ataukah Bernard Shaw. Tetapi agaknya tidak menjadi soal, karena yang terpenting bagi sebuah himbauan yang tidak dusta, adalah: The Song, Not The Singer.

Read More......

Shih Huang Ti dan Tukang Kereta

Hidup adalah sebuah perlombaan tanpa bisa ditentukan terlebih dahulu siapa sang pemenang. Dalam perlombaan pasti ada yang harus kalah, seperti kata Chairil Anwar: “Hidup hanya menunda kekalahan”. Kitapun yakin: kadang-kadang memang kalah.
Pada jaman kaisar Shih Huang Ti, 2500 tahun yang lampau, hidup seorang tukang kereta yang sudah uzur, tetapi tangkas, berani dan cerdas. Ia selalu menang perang, lagi pula juara lomba balap kereta di seantero jagad daratan Cina. Karena prestasinya tidak pernah terkalahkan, kasiar menyuruh putra mahkota berguru, agar kelak di samping menjadi kaisar, ia bisa sebagai sais ulung di dunia. Setelah lama belajar dan berlatih dengan giat dan tekun, putra mahkota menjadi mahir pula, dan tukang kereta itu sudah menganggap setara. Shih Huang Ti, pembangun tembok besar Cina, adalah pemimpin yang bijaksana. Mengetahui bahwa putranya sudah tamat belajar, untuk mengujinya dirancanglah perlombaan kereta sejauh 100 li (50 km) antara sang guru dan sang murid.
Konon perlombaan hari itu disaksikan oleh para naga, juga dewa-dewa orang Cina. Ternyata bahwa naga dan dewa-dewa tidak banyak menolong. Putra mahkota itu ternyata kalah! Putra mahkota yang semakin kagum lantas bertanya kepada sang guru: “Mengapa ia yang muda, tangkas, gagah, dengan kuda-kuda yang paling perkasa, dengan kereta yang paling canggih, masih bisa terkalahkan oleh seorang tua bangka?”

Dikhidmati kaisar, nayaka dan sentana, dengan runtun dan runtut dijawabnya pertanyaan putra mahkota: “Tua atau muda bukan soal pokok. Dalam setiap perlombaan kereta, ada tiga perkara dasar, tiga kebijaksanaan, yang memang semestinya kita kuasai. Pertama: watak saisnya. Kedua: kebiasaan kudanya. Ketiga: keadaan keretanya. Tentu saja masih ada faktor lain seperti tiupan angin, lika-liku lapangan, bahkan ulah pemirsanya, dan yang di luar kemampuan kita”.

“Ketika bertanding, pandangan Anda hanya tertuju kepada saya. Ketika saya di depan, Anda Cuma berusaha keras melewati saya dengan mengabaikan lainnya. Ketika saya tertinggal di belakang, bahkan Anda sering menoleh ke arah saya. Motivasi dan tekad Anda kurang sempurna, karena yang ada di benak Anda hanya bagaimana caranya mengalahkan saya, bukan untuk memenangkan perlombaan. Di dalam setiap perlombaan, kemenangan hanya dipastikan oleh siapa yang terlebih dahulu mencapai garis finish, bukannya: Siapa mengalahkan Siapa”.

“Setiap kuda mempunyai kebiasaan dan kesukaannya masing-masing yang harus diperhatikan. Sebelum berlomba, saya mengelus-elusnya. Ada yang suka tali kekang lembut, ada sebaliknya. Ada yang suka dilecuti. Ada yang dipanggil namanya saja sudah berlari. Yang anda lakukan hanyalah mencambuk mereka kuat-kuat. Bagaimana Anda akan menang, jika kuda-kuda Anda berlari kencang hanya karena kesakitan, sedangkan kuda-kuda saya berlari, karena suka hati”.

“Kereta Anda adalah yang terbaru dan terkuat di Cina. Tetapi sudahkah Anda periksa? Seringkah Anda meminyakinya? Adakah pasak yang hampir lepas dan berkarat, karena buatan manusia tidak ada yang sempurna? Saya selalu merawatnya. Saya mencintainya. Saya teliti setiap saat keadaan roda-rodanya”.

Menyimak jawaban tukan kereta, Shih Huang Ti berfikir semakin arif. Bahwa sais: bisa kaisar, bisa pemimpin. Bahwa kuda: bisa pegawai, serdadu, atau rakyat. Kereta: bisa coolstorage, conveyor, perusahaan, negara, bahkan apa saja yang nyata. Dalam bersaing, tukang kereta ini agaknya benar. Persaingan: bukan lotere atau judi, juga bukan dendam kesumat apalagi media untuk membanggakan serta menyombongkan diri.
Wallahualam bishawaab.

Read More......