Monday, November 15, 2004

Dubur

Ada seminar. Mata, Limpa, Jantung, Ginjal, Kaki, semua berkumpul untuk mendiskusikan peran setiap bagian tubuh. Tulang punggung yang lazim disebut, tidak ikut. Kalau mau jujur memang ia tidak seharusnya selalu diandalkan. Mata berkata: “Tanpa saya hidup tidak ada artinya. Tanpa saya manusia tidak dapat melihat hijaunya hijau, terangnya bulan, dan cantiknya panorama”.
Jantung pun angkat bicara: “Tanpa saya kehidupan itu sendiri tidak akan pernah ada”. Semua terdiam. Mana ada yang berani menggugat kemustahakan jantung. Peserta seminar keasyikan mendengarkan pembicara yang lain. Tiba-tiba dubur berdiri, mengacungkan telunjuknya, dan berkata: “Jadi kalau begitu saya ini tidak ada gunanya”. Semua lalu tertawa. Mentertawakan dubur yang dianggap mereka sangat tidak tahu diri.


Karena kesal, Dubur lalu mogok kerja. Mampet total. Setelah tiga hari, mata berkunang-kunang. Jantung berdebar-debar. Otak buntu dan Usus melilit-lilit. Hati –pabrik kimia tubuh- kalang kabut karena sistemnya menjadi kacau. Pada hari ke-empat, mereka terpaksa mengadakan seminar lagi memberi pengakuan terhadap peranan Dubur dalam bangunan organisasi yang bernama manusia. Semua merasa ngeri. Takut Dubur benar-benar mogok total. Dubur senang menerima pengakuan itu, lantas bekerja kembali dan semuanya berjalan lancar.

Kita ini apalah artinya. Mungkin hanya sebuah jaringan Dubur dalam perusahaan atau organisasi. Hanya sekrup kecil dalam mesin yang besar. Ungkapan ini sering kita dengar dari mulut orang yang merasa dirinya tidak berguna. Rasa nobodyness yang jelas-jelas mengganggu motivasi bertindak. Pernah kejadian di sebuah percetakan ada sekrup kecil yang tidak diakui fungsinya terpelanting dan masuk di antara rol bantalan cetak. Sekrup baja itu langsung menghancurkan alat yang paling vital. Mesin cetak itu terpaksa macet sebulan karena bantalan yang baru harus didatangkan dari Jerman. Sebuah sistem akan berjalan lancar jika semua sekrup berfungsi dengan baik.

Pak Ukar adalah contoh sekrup kecil yang tidak terkenal. Setiap pagi ia membersihkan kantor, merapikan meja-meja kerja, membuang puntung rokok, dan mengumpulkan kembali kertas-kertas yang sudah dibuang, karena ia fikir bahwa semua kertas asal berada di kantor, pasti kertas itu dokumen maha penting.

Ia tidak punya pretensi apa-apa. Ia menyadari fitrahnya sebagai karyawan yang juga dimanfaatkan sebagai tukang sapu. Ia bukan orang yang berkata: “Sekarang tukang sapu, besok manager – yang lantas ngambek dan ikut main golf (golongan frustasi) – lantaran besok ternyata ia tidak menjadi manager. Jika ia tidak masuk satu hari saja maka kacaulah sistem kerja di kantor. Ia tidak punya ambisi dan mudah diatur. Bagi perusahaan yang sedang tumbuh orang tanpa ambisi menjadi beban, karena sulit diajak ikut tumbuh. Tetapi Pak Ukar mempunyai semangat kerja yang lahap.

Kelahapan semangat dapat diciptakan. Di Jepang misalnya orang menumbuhkannya dengan semangat ‘ba’. Dengan semangat ba seseorang dibuat bangga dengan tempatnya bekerja, bukan dengan jabatannya. Seorang sopir NHK memakai jas biru yang sama dengan kameraman dan jas direkturnya, lengkap dengan sulaman lambang NHK di dada. Ia memang sadar bahwa ia seorang sopir – tapi sopir yang punya kontribusi yang diakui dalam sistem penyiaran informasi NHK ke seluruh dunia. Bagaimana dengan pakaian kerja di sini? Biasanya untuk kepala bagian ke atas, seperti iklan pabrik rokok: ‘kami memang beda’. Kita seperti jarang mengenal dubur, sekrup, atau ‘ba’, yang kita kenal setiap hari hanyalah senda gembira: ‘ciluuuk-baa’.

1 comment:

abun said...

Hehehehe.. Dubur... (upps, jangan marah, Bur! Nanti mampet, repot saya..)
Yeah, kadang orang meremehkan fungsi komponen yg lebih kecil. Padahal sih semua hal di alam semesta punya keterkaitan yang bikin kita bisa baca komentar saya di blog ini. Ya kan? Sapenting saling respek.. Yu..