Monday, November 15, 2004

Kiat


Pada suatu hari di musim dingin yang berkabut, di pinggiran kota Tokyo, dengan kaki terpincang-pincang, seorang laki-laki yang kelihatan sangat tua dan kotor, bahkan sangat miskin memasuki sebuah toko makanan yang mewah, yang baru saja dibuka hanya untuk membeli sepotong roti sarapannya karena sejak kemarin sore, perutnya tidak kemasukan makanan sedikitpun.


Dengan menggenggam beberapa uang receh yang sudah kusam orang tua tersebut dengan tertatih-tatih menunjuk sepotong roti yang paling murah dan paling kecil di lemari kaca.

Namun ia tidak segera dilayani. Bahkan para pegawai dan pelayan yang masih muda dan cantik serta bersih lagi wangi itu, saling berpandangan, tersenyum-senyum penuh arti karena kedatangan tamu pertama pagi itu mereka anggap telah merusak suasana harmoni di toko itu.

Beberapa pelayan diam-diam menuduhnya sebagai pengemis yang tidak tahu diri, karena lain dari biasanya pembeli di toko itu adalah para eksekutif yang berkantong tebal, berpakaian indah-indah, bermobil dan membeli makanan dalam jumlah berlimpah-limpah.

Melihat dan merasakan suasana yang tidak mengenakkan dari balik kaca ruang kerjanya yang temaram, si pemilik toko segera keluar menemui si orang tua, mengambilkan roti yang ditunjuknya, membungkusnya dan menyerahkannya, bahkan menghitung uang kembaliannya. Dan seperti lazimnya orang Jepang dengan terbungkuk penuh hormat mengucapkan terima kasih dan meminta maaf dengan tulus atas perlakuan para karyawannya yang tidak segera melayaninya.

Semua sudah berlalu, si orang tua cepat-cepat keluar dari toko. Tapi suasana tegang masih menyelimuti ruangan itu. Tiba-tiba seorang pegawai senior yang sudah lama bekerja di toko itu bertanya kepada si pemilik toko: “Sudah sepuluh tahun saya bekerja di sini. Dan selama itu Tuan tidak pernah saya lihat melayani sendiri para pembeli, bahkan langganan kaya yang membeli setiap hari dalam jumlah besar pun tidak pernah Tuan layani. Tetapi mengapa terhadap pembeli tadi Tuan telah bersusah payah melayaninya, sedangkan kami sendiri pun enggan melayaninya?”

Si pemilik toko dengan sungguh-sungguh menjawab: “ Tahukah kamu bahwa dialah sebenarnya pembeli yang paling terhormat. Dialah pembeli yang sebenarnya pembeli. Karena untuk sampai kemari dengan berjalan kaki, dia harus bangun lebih cepat dari biasanya. Karena untuk dilayani lebih awal agar tidak mengganggu pembeli yang lain, dan malu karena dia tahu bahwa uangnya hanya cukup untuk membeli sepotong roti yang paling kecil. Dia sudah lama kedinginan menunggu di luar sebelum toko ini dibuka, sebelum pembeli yang lain berdatangan. Karena miskinnya dia harus menabung beberapa hari agar dapat membeli roti itu, sementara orang lain cukup dengan selembar ‘credit card’. Saya yakin, sesampai di rumahnya dia akan memakan roti itu dengan lahap, dengan nikmat, karena hanya itulah persediaan yang dia miliki dan dia idamkan. Sedangkan yang lain datang membeli hanya karena toko kita sudah terkenal dan menjanjikan gengsi”.

Akhirnya semua tersadar, tapi sudah terlambat. Memang yang datangnya paling akhir di muka bumi ini hanyalah rasa sesal, diawali kesadaran, kalau ada. Sedihnya karena sesal datang dari prasangka baik atau buruk. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”. (QS.2:216)

No comments: