Monday, November 15, 2004

George Bernard Shaw


Dusta, sebagaimana halnya cinta, adalah perkakas umum, tidak manusiawi, tetapi duniawi, perkakas yang universal. Dusta di mana-mana sudah menjadi semacam ‘social practice’ belum lagi dengan alasan ‘pragmatic’.


Di pedesaan Madura, cinta sering diutarakan sejujurnya, unik kedengarannya dalam kidungan: “Aku cinta kepadamu karena engkau tidak takut berjalan sendirian di malam-malam. Aku cinta kepadamu karena engkau tidak dusta membalas cintaku diam-diam”. Tidak seperti lagu cinta sejuta, yang mendayu sejuta cinta, yang hampir tidak masuk akal. Cinta memang tidak harus masuk akal, dan memang tidak perlu akal, kecuali barangkali seringkali terjadi cinta akal-akalan. Cinta tidak perlu latihan, sedang dusta memerlukannya, begitu juga pengalaman.

“Pengalaman adalah sebuah nama indah, yang acapkali diberikan kepada semua kesalahan, yang telah diperbuat oleh seseorang”, kata George Bernard Shaw. Kita berdusta karena merasa salah, jarang karena merasa benar. Ada juga dusta yang benar, tidak benar-benar dusta, tetapi tetap dianggap bersalah. Pengalaman tidak pernah dusta.

Ketika Islam merata di Jazirah Arab, tidak ada keaiban yang dapat meruntuhkan kehormatan seseorang kecuali dusta. Jika seorang muslim menjentikkan jari telunjuk dan jempol tangan, memanggil anak unta supaya mendekat, dan ada muslim lain yang melihat, orang itu sudah dianggap dusta. Ia penipu, karena ia memanggil anak unta hanya dengan bunyi dan lambaian tangan. Mengapa tidak menggunakan rumput segar, umpan kesukaan unta? Jangan coba-coba menyuruh anak babi masuk kandang dengan menariknya, ia akan mogok, bahkan mundur. Tapi jika kita mendorong kepalanya kuat-kuat lantas tiba-tiba melepaskannya, ia akan nyelonong sendiri masuk kandang. Memanggil agar mendekat, menghimbau, tidak cukup dengan kata-kata atau bunyi-bunyian, menghimbau adalah perbuatan nyata, sebaiknya berusaha dengan suatu cara, dan menyisakan sedikit “kesukaan-kesukaan” orang yang dihimbau.

Karena dusta, cinta dan benci hanya perkakas, ahlus-sunnah meriwayatkan, Rasulullah perna berkata: “ Jika engkau mencintai seseorang yang memang seharusnya engkau cintai, maka cintailah dia dengan sebaik-baiknya, karena siapa tahu kelak engkau dan dia akan berbalik menjadi saling membenci. Jika engkau membenci seseorang yang memang seharusanya engkau benci, maka bencilah dia dengan sebaik-baiknya, karena siapa tahu kelak engkau dan dia akan menjadi saling mencintai”. Agaknya kita diminta agar tidak berlebihan menggunakan perkakas, agar tidak aus, tidak diri kita yang tertelan perkakas.

Albert Einstein dan Bernard Shaw, mempunyai sosok dan wajah yang jauh dari gagah, tetapi dikarunia otak yang cemerlang. Ketika Bernard Shaw dijamu makan malam di kalangan para bangsawan Inggris yang rata-rata pesolek, seorang nyonya yang amat rupawan berseloroh tentang keburukan wajah Bernard Shaw: “Tuan Shaw, umpama kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan yang serasi. Anak-anak yang lahir akan mewarisi keunggulan kita berdua: mereka akan pintar seperti Tuan, dan cantik rupawan seperti saya”. Dengan tersipu Bernard Shaw menjawab: “ Betul juga kata Nyonya, tetapi bagaimana jika Allah justru menghendaki sebaliknya: anak itu buruk seperti saya, dan berotak bodoh seperti Nyonya”.

Kitapun sering bimbang, siapakah sebenarnya yang berkata, Albert Einstein ataukah Bernard Shaw. Tetapi agaknya tidak menjadi soal, karena yang terpenting bagi sebuah himbauan yang tidak dusta, adalah: The Song, Not The Singer.

No comments: