Tuesday, June 19, 2007

Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Ketika perang Vietnam berlangsung dengan dahsyat, tahun 1970, di tengah hutan di propinsi Me Kang Kang, satu peleton pasukan Green Berets dipimpin oleh sersan Money Do-Little membuat kubu pertahanan, dan menetap di sana sebagai patroli pengintai terdepan.
Di ketinggian limapuluh meter dari kubu itu, di atas pohon trembesi yang besar dan rindang, Silaw Dan Trang seorang sniper (baca: penembak jitu) tentara Viet Kong menempati posnya. Siang dan malam hampir tanpa istirahat ia mengarahkan senapan Kalashnikov yang berteleskop, dan menembaki setiap anggota Green Berets yang keluar masuk kubu atau yang kebetulan sedang santai, sehingga sangat merepotkan anak buah Do-Little.
Pleton Do-Little sudah sangat lama bertugas. Untuk mencegah merosotnya moral pasukan, diterbangkanlah peleton pengganti yang masih segar bugar, dipimpin oleh Letnan Price Do-Nothing seorang perwira muda lulusan West Point.
Ketika serah terima sedang berlangsung, melihat banyak tentara Amerika di bawah, seperti biasa Silaw Dan Trang menembakkan senapannya dengan gencar dan peluru panas pun berterbangan mencari sasaran sehingga seluruh pasukan semburat mencari perlindungan, menyelamatkan jiwa masing-masing.
Tembakan balasan dari bawah yang dilakukan oleh anggota peleton baru pun tidak kalah gencarnya, bahkan ngawur karena tembakan itu datang dari para prajurit yang panik dan baru saja terjun ke medan perang.
“Jangan tembak, jangan tembak !! Berlindung, jangan balas serangan, jangan balas, berlindung !!”, teriak Sersan Do-Little. Seluruh anggota peleton Letnan Do-Nothing terkejut dan heran, bertanya-tanya satu sama lain sambil terus menembak ke atas, sekenanya. “Sersan, ini berbahaya, mengapa tidak boleh menembak? Semua pasukanku bisa hancur, bisa habis.”, sergah Do-Nothing berang.
Sersan Do-Little sebagaimana layaknya prajurit berpengalaman, di tengah desingan peluru yang dimuntahkan senapan otomatik Silaw Dan Trang, dengan gemas berkata, “Letnan, sniper itu sudah berbulan-bulan berada di atas sana. Dari bawah jelas kita melihatnya. Setiap saat ia menembaki pasukan saya yang tampak olehnya. Sampai sekarang tidak seorangpun yang terluka. Kalau kita membalas menembak, dengan mudah kita dapat mengenainya. Kalau dia mati, pasukan Viet Kong pasti akan menggantinya dengan sniper lain. Dan kalau penggantinya sniper lain yang lebih pintar, maka matilah kita semua. Oleh karena itu biarkan saja ia tetap di sana.”

Banyak makna yang dapat kita peroleh dari kisah ini. Menghadapi seorang bodoh pun diperlukan kebijaksanaan dan tindakan bijaksana, agar kita tidak sengsara dibuatnya. Kalau kita sudah bertahun-tahun menduduki satu pos, tidak berarti bahwa kita cakap atau mampu, justru mungkin malah sebaliknya. Dibiarkannya kita menduduki pos itu agar tidak mengganggu tatanan yang ada.

Di dunia persilatan dikenal ungkapan: “di atas langit ada langit, dari yang kosong ternyata ada isi, dari yang isi ada kosong, di balik kelemahan lahir kekuatan, di balik kekuatan lahir kelemahan. Hantamkan yang keras kepada yang lunak, dan yang lunak kepada yang keras. Ketika orang lain melihat semua kelemahan dirimu, jangan takut, jangan merasa hina, bahwa sesungguhnya mereka telah buta akan seperti apa kekuatan dirimu sebenarnya.”, sabda Asmaraman S. Kho Ping Hoo.

Pendekar Kam Hong, Si Suling Emas yang terkenal itu, di hadapan musuhnya selalu merendah, “Maafkan saya yang hina telah buta, tidak melihat gunung Thay Shan yang tinggi telah berdiri di depan mata.”.

No comments: