Monday, November 15, 2004

Shih Huang Ti dan Tukang Kereta

Hidup adalah sebuah perlombaan tanpa bisa ditentukan terlebih dahulu siapa sang pemenang. Dalam perlombaan pasti ada yang harus kalah, seperti kata Chairil Anwar: “Hidup hanya menunda kekalahan”. Kitapun yakin: kadang-kadang memang kalah.
Pada jaman kaisar Shih Huang Ti, 2500 tahun yang lampau, hidup seorang tukang kereta yang sudah uzur, tetapi tangkas, berani dan cerdas. Ia selalu menang perang, lagi pula juara lomba balap kereta di seantero jagad daratan Cina. Karena prestasinya tidak pernah terkalahkan, kasiar menyuruh putra mahkota berguru, agar kelak di samping menjadi kaisar, ia bisa sebagai sais ulung di dunia. Setelah lama belajar dan berlatih dengan giat dan tekun, putra mahkota menjadi mahir pula, dan tukang kereta itu sudah menganggap setara. Shih Huang Ti, pembangun tembok besar Cina, adalah pemimpin yang bijaksana. Mengetahui bahwa putranya sudah tamat belajar, untuk mengujinya dirancanglah perlombaan kereta sejauh 100 li (50 km) antara sang guru dan sang murid.
Konon perlombaan hari itu disaksikan oleh para naga, juga dewa-dewa orang Cina. Ternyata bahwa naga dan dewa-dewa tidak banyak menolong. Putra mahkota itu ternyata kalah! Putra mahkota yang semakin kagum lantas bertanya kepada sang guru: “Mengapa ia yang muda, tangkas, gagah, dengan kuda-kuda yang paling perkasa, dengan kereta yang paling canggih, masih bisa terkalahkan oleh seorang tua bangka?”

Dikhidmati kaisar, nayaka dan sentana, dengan runtun dan runtut dijawabnya pertanyaan putra mahkota: “Tua atau muda bukan soal pokok. Dalam setiap perlombaan kereta, ada tiga perkara dasar, tiga kebijaksanaan, yang memang semestinya kita kuasai. Pertama: watak saisnya. Kedua: kebiasaan kudanya. Ketiga: keadaan keretanya. Tentu saja masih ada faktor lain seperti tiupan angin, lika-liku lapangan, bahkan ulah pemirsanya, dan yang di luar kemampuan kita”.

“Ketika bertanding, pandangan Anda hanya tertuju kepada saya. Ketika saya di depan, Anda Cuma berusaha keras melewati saya dengan mengabaikan lainnya. Ketika saya tertinggal di belakang, bahkan Anda sering menoleh ke arah saya. Motivasi dan tekad Anda kurang sempurna, karena yang ada di benak Anda hanya bagaimana caranya mengalahkan saya, bukan untuk memenangkan perlombaan. Di dalam setiap perlombaan, kemenangan hanya dipastikan oleh siapa yang terlebih dahulu mencapai garis finish, bukannya: Siapa mengalahkan Siapa”.

“Setiap kuda mempunyai kebiasaan dan kesukaannya masing-masing yang harus diperhatikan. Sebelum berlomba, saya mengelus-elusnya. Ada yang suka tali kekang lembut, ada sebaliknya. Ada yang suka dilecuti. Ada yang dipanggil namanya saja sudah berlari. Yang anda lakukan hanyalah mencambuk mereka kuat-kuat. Bagaimana Anda akan menang, jika kuda-kuda Anda berlari kencang hanya karena kesakitan, sedangkan kuda-kuda saya berlari, karena suka hati”.

“Kereta Anda adalah yang terbaru dan terkuat di Cina. Tetapi sudahkah Anda periksa? Seringkah Anda meminyakinya? Adakah pasak yang hampir lepas dan berkarat, karena buatan manusia tidak ada yang sempurna? Saya selalu merawatnya. Saya mencintainya. Saya teliti setiap saat keadaan roda-rodanya”.

Menyimak jawaban tukan kereta, Shih Huang Ti berfikir semakin arif. Bahwa sais: bisa kaisar, bisa pemimpin. Bahwa kuda: bisa pegawai, serdadu, atau rakyat. Kereta: bisa coolstorage, conveyor, perusahaan, negara, bahkan apa saja yang nyata. Dalam bersaing, tukang kereta ini agaknya benar. Persaingan: bukan lotere atau judi, juga bukan dendam kesumat apalagi media untuk membanggakan serta menyombongkan diri.
Wallahualam bishawaab.

No comments: